Siapa Anti Revolusi Indonesia Akan Hancur

here

Senin, 15 Februari 2010

pokok-pokok ajaran marhaenisme menurut bung karno


Bangunlah Dunia ini kembali! Bangunlah Dunia ini kokoh kuat dan sehat! Bangunlah suatu Dunia dimana semua semua bangsa hidup damai dalam persaudaraan! Bangunlah Dunia yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat manusia

(Pidato Bung Karno, “Membangun Dunia Kembali To Build The World A New” 30 September 1960)

Presiden Soekarno atau biasa dipanggil Bung Karno, seorang pemimpin bangsa tidak hanya mengantarkan Indonesia kepada Kemerdekaan, tetapi juga sosok yang mempunyai karisma, intelektualitas, serta visi yang tinggi melalui berbagai pemikirannya. Sebagai Presiden pertama, Bung karno berhasil meletakan pondasi-pondasi yang kuat dalam pemerintahan dan kenegaraan.

Pemikiran-pemikiran Bung Karno tidak pernah surut dari pembicaraan setiap orang. Beberapa asil pemeikiran yang dituangkan dalam membangun pondasi Negara kesatuan Indonesia yaut sebagai penggali karakteristik bangsa yang dituangkan dalam Pancasila; ikut dalam perumusan UUD 1945. disertai konsep maupun ideologi yang telah disusun selama pra dan pasca kemerdekaan.

Karya terbesar atas pemikiran bung karno yaitu Marhaenisme yang dicetuskan pada tahun 1927. Marhaenisme dipahami sebagai teori perjuangan, sekaligus sebagai teori politik, oleh para penganutnya. Marhaenisme lahir sebagai jawaban terhadap praktis kolonialisme dan imperialisme penjajah Belanda di tanah air. Tiang penyangga ajaran ini adalah sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Oleh karena itu, penganut marhaen (Marhaenis), acapkali menyimpulkan marhaenisme sebagai ”Pancasila Besar”. Maksudnya, apa yang terkandung di dalam lima sila (Pancasila) sudah tercantum dalam ajaran Marhaenisme. Seorang marhaenis fanatis, punya rumus yang baik yaitu: Pancasila + Ketuhanan yang Maha Esa = Marhaenisme.

SEJARAH MARHAENISME

Marhaenisme diambil dari nama Marhaen, sosok petani miskin yang pernah ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti.

Namun dalam Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di Bandung selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama Marhaen. Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.

Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Pada 4 July 1927 ia mendirikan PNI dimana Marhaenisme menjadi asas dan ideologi partai di tahun 1930-an. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.

Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.

Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.

Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.

Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.

POKOK- POKOK AJARAN MARHAENISME

Marhaenisme mengangkat masalah penghisapan dan penindasan _rakyat kecil_yang terdiri dari kaum tani miskin, petani kecil, buruh miskin, pedagang kecil _ kaum melarat Indonesia _ yang dilakukan oleh para kapitalis,tuan-tanah, rentenir dan golongan-golongan penghisap lainnya. Ungkapan yang sering dipakai oleh Bung Karno, dan yang paling terkenal, adalah

_l_ exploitation de l_homme par l_homme_ (penghisapan manusia oleh manusia).
Marhaenisme, yang telah dilahirkannya dan dikembangkannya antara tahun
1930-1933 merupakan pemikiran-pemikiran kiri yang senafas dengan Marxisme.


Pemikiran Bung karno dalam hal ini menunjukkan dengan jelas
bahwa baginya, kepentingan rakyat adalah tujuan akhir dari segala-galanya. Dalam tilikan Sukarno, masa itu mayoritas penduduk Indonesia, entah itu buruh, tukang becak, tukang asongan, nelayan, hingga insinyur hidup seperti Pak Marhaen tadi. Mereka memiliki alat produksi, namun hal itu tak menolong mereka untuk hidup layak. Akhirnya, ajaran ini diberi nama ”Marhaenisme”. Misi ajaran ini adalah terbitnya kesejahteraan sosial (sosio demokrasi) pada seluruh kaum marhaen yang mengalami penindasan dan pengisapan di bumi pertiwi ini

Pidato Bung Karno dalam konferensi Partindo, Mataram 1933

TENTANG MARHAEN, MARHAENIS, MARHAENISME

1. Marhaenisme yaitu Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi

2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar oleh karena perkataan proletar sudah termaktub didalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa diartikan bahwa kaum tani dan kaum lain-lain kaum melarat tidak termaktub didalamnya.

4. Karena Partindo berkeyakinan bahwa didalam perjoangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.

5. Di dalam perjuangan kaum Marhaen, maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang paling besar sekali.

6. Marhaenisme adalah Azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.

7. Marhaenisme adalah pula Cara Perjoangan untuk mencapai susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya harus suatu cara perjoangan yang Revolusioner.

8 Jadi Marhaenisme adalah: cara Perjoangan dan Azas yang ditujukan terhadap hilangnya tiap-tiap Kapitalisme dan Imperialisme.

9. Marhaenisme adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme.

Sedangkan dalam Amanat Pada Konfrensi Besar GMNI pada tahun 1959 di Kaliurang, Bung Karno menegaskam tentang Marhaenisme Sebagai berikut:

1. Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen

2. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya

3. Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan ”tegelijk” menuju hilangnya kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme

Bung Karno, PNI, dan Marhaenisme merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan. Adalah Bung Karno yang melahirkan PNI pada 1927. Ia
pula yang menciptakan Marhaenisme, juga pada 1927. Kaum Marhaen,
menurut Bung Karno, adalah orang kecil, kaum ngarit, tukang
kaleng, kaum nelayan, dan kaum-kaum melarat lainnya. Tampak bahwa
ketika diciptakan, konsepsi Marhaen berbeda dengan konsepsi
proletar Marxis. Namun kemudian Bung Karno mendorong konsepsi
Marhaenisme ke arah Marxis dan sempat menjadi asas PNI.

MARHAENISME DAN PNI

Dalam buku Nasionalisme Mencari Ideologi tulisan J. Eliseo
Rocamora, disebutkan bahwa sejak lahir kembali pada 1946, PNI
sudah menengok Marhaenisme sebagai asas partai, meski
penafsirannya berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dan perubahan itu
tak terlepas dari pengaruh Bung Karno.

Dalam kongres ke-3 tahun 1948, Marhaenisme diterjemahkan sebagai
“sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”. Sosio-nasionalisme
adalah rasa kebangsaan yang terbentuk karena persamaan nasib dan
kepentingan. Ia mengakui perbedaan di antara umat manusia, namun
menentang kolonialisme dan kapitalisme. Sedangkan sosio-demokrasi
mengakui hak setiap individu untuk hidup sejahtera bersama yang
lain. Pada konsepsi tersebut, warna Marxis — yang menentang
individualisme dan menonjolkan pertentangan kelas, serta radikal
– tak terlihat. Boleh jadi karena waktu itu PNI dipimpin kaum
priayi yang konservatif.

Sukses Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Pemilu 1955 merisaukan
partai-partai lain, termasuk PNI. Apalagi PKI terlihat begitu
agresif untuk mendekati Bung Karno agar dapat duduk di kabinet.
Seiring dengan jatuh-bangunnya kabinet dan terjadinya berbagai
pemberontakan daerah, pendulum semangat politik Bung Karno mulai
bergerak ke Kiri, meskipun masih samar-samar.

Dalam serangkaian kursusnya tahun 1958, Bung Karno mengecam
orang-orang yang sok mengerti Marhaenisme. Lalu ia membeberkan
makna yang benar menurut pikirannya. “Marhaenisme adalah Marxisme
yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia.
Marhaenisme ini bahasa asingnya is het in Indonesia toegepaste
Marxisme,” ujar Bung Karno, sebagaimana dikutip Nazaruddin
Sjamsuddin dalam bukunya PNI dan Kepolitikannya.

Penafsiran Bung Karno tersebut mendapat lahan subur di zaman
Demokrasi Terpimpin yang dimulai pada 1959, tatkala pusat
kekuasaan beralih ke tangan Bung Karno. Berbagai kekuatan politik
sangat tergantung kepadanya. Ini memungkinkan Bung Karno untuk
memaksakan gagasannya.

Sejak awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, Bung Karno terus
mendesak PNI agar menerima Marhaenisme sesuai dengan
pengertiannya. Para tokoh PNI konservatif yang mencoba
menentangnya disingkirkan. Kongres PNI ke-9 di Solo pada 1960
merupakan awal kemenangan Bung Karno. Di sini ia ditabalkan
sebagai “Bapak Marhaenisme”.

Definisi bahwa Marhaenisme adalah penerapan Marxisme secara resmi
diterima dalam kongres partai ke-10 di Purwokerto, Jawa Tengah,
September 1963, dalam bentuk resolusi. Ketika itu PNI dipimpin
Ali Sastroamidjojo (Ketua Umum) dan Surachman (Sekjen). Ali dan
Surachman pula yang menggiring sidang Badan Pekerja Kongres (BPK)
partai di Lembang, Bandung, pada November 1964, untuk
menghasilkan “Deklarasi Marhaenisme”, sebagai penjabaran defisini
Marhaenisme itu.

Deklarasi tersebut antara lain berbunyi: “Tidak ada gerakan
revolusioner yang tidak didasarkan pada teori revolusi.
Marhaenisme adalah teori revolusi yang didasarkan pada massa
actie. Dengan demikian, kondisi perjuangan Marhaenis haruslah
revolusioner dan didasarkan pada konsepsi dua tahap revolusi.
Yang pertama adalah fase nasional demokratis dan yang kedua fase
sosialis. Karena itu perjuangan harus dipimpin oleh petani dan
buruh.”

Deklarasi juga mengakui bahwa PNI adalah alat revolusi yang
didasarkan pada pada buruh dan petani, dan dipimpin oleh
unsur-unsur yang tepat. Untuk mencapai kemenangan kaum Marhaen,
mereka harus disatukan dalam Front Marhaenis yang bersifat
dinamis, militan, radikal, berdisiplin, dan berdedikasi penuh
kepada tujuan Marhaen. Deklarasi tersebut menuntut tindakan yang
lebih tegas dalam wujud program kerja partai. Umpamanya, memakai
materialisme historis Marxis sebagai metode berpikir, berjuang,
dan memahami kondisi sejarah perjuangan rakyat Indonesia.

Program yang mencolok adalah pembersihan terhadap pimpinan partai
dan ormas pendukung PNI di semua tingkat. Ada dua kelompok yang
dilarang memimpin partai, yakni pengusaha, tuan tanah, atau
mereka yang berjiwa tuan tanah.

Para pemimpin PNI konservatif menyadari “bahaya” penerapan
Deklarasi Marhaenis. Mereka mencoba menentang dan terdepak. Pada
Agustus 1965, tujuh anggota terpenting kelompok sayap Kanan dalam
pimpinan PNI tingkat nasional dipecat dari keanggotaan partai –
bukan cuma dicopot dari jabatannya. Antara lain Hardi (Wakil
Ketua I), Osa Maliki (Wakil Ketua II), Mohamad Isnaeni (Wakil
Sekjen), dan Hadisoebeno Sosrowerdojo (anggota DPP Pleno).

Dua bulan berikutnya, Ukar Bratakusumah — juga anggota DPP Pleno
– dan sekitar 150 pimpinan PNI di berbagai daerah, menerima
nasib serupa: dipecat dari keanggotaan partai. Di Jawa Tengah,
yang waktu itu menjadi benteng kekuatan PNI konservatif (sayap
Kanan), yang didepak antara lain Hadisoebeno (Ketua I DPD), Umar
Said (Ketua III), dan Soetrisno (Ketua IV), plus 11 ketua cabang
partai di bawah DPD Jawa Tengah.

Jawa Barat, yang juga basis kekuatan konservatif, tak luput dari
pembersihan. Sejumlah tokoh PNI terkemuka di lingkungan DPD Jawa
Barat yang dianggap Kanan digulung habis. Umpamanya Ukar
Bratakusumah, Usep Ranawidjaja, Sunawar Sukowati, Sanusi
Hardjadinata (bekas Menteri Dalam Negeri Kabinet Kerja), dan Osa
Maliki.

Pemberontakan G-30-S/PKI yang gagal merupakan pukulan balik
terhadap Bung Karno dan pimpinan PNI sayap Kiri. Ketika Bung
Karno limbung, tokoh-tokoh PNI sayap Kanan yang dulu disingkirkan
mengambil alih kepemimpinan partai, lalu mengadakan Kongres
Pemersatuan di Bandung pada April 1966. Dalam kongres ini
terpilih Osa Maliki sebagai ketua umum dan Usep Ranawidjaja
sebagai sekjen.

Maka pada 21 Desember 1967, mereka mengeluarkan “Pernyataan
Kebulatan Tekad”. Isinya menegaskan bahwa Marhaenisme bukanlah
Marxisme yang diterapkan di Indonesia, melainkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, Sosio Nasionalisme, dan Sosio Demokrasi. Lalu gelar
“Bapak Marhaenisme” kepada Bung Karno — yang waktu itu terjepit
secara politik — mereka cabut. Mereka juga mendukung pelaksanaan
Tap MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967: melarang Bung Karno kembali
melakukan kegiatan politik.

1 komentar: