Siapa Anti Revolusi Indonesia Akan Hancur

here

Rabu, 17 Februari 2010



W.R. Supratman – Indonesia Raya

Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Senin, 15 Februari 2010

Istri-istri soekarno

Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, merupakan gambaran seorang pemimpin besar di mata rakyat Indonesia. Jiwa kepemimpinan dan karismanya yang terpancar kuat mungkin masih dapat disaksimatakan oleh beberapa orang yang masih hidup di masa Sukarno berkuasa. Daya tarik Sukarno inilah yang juga sulit untuk ditolak oleh beberapa perempuan yang pernah hadir sebagai penghias hati bapak proklamator Indonesia ini. Tercatat ada 9 orang wanita yang pernah dinikahinya. Sampai akhir hidupnya, beberapa telah berstatus sebagai mantan istri dan beberapa lagi masih menjadi istri yang sah.
Sukarno memang adalah seorang pecinta dan pemuja wanita. Ibarat kumbang di taman yang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain, demikianlah Sukarno. Sukarno memang bukan sosok manusia hipokrit. Dalam wawancara yang dilakukan Cindy Adams, penulis biografinya, dengan terang-terangan Sukarno mengatakan, " I'm a very physical man. I must have sex everyday. "
Reni Nurhayati, sang penulis buku, menilai bahwa memang tak ada satupun dari istri-istri Sukarno yang tidak cantik. Pada Bambang Widjanarko, orang yang pernah 8 tahun menjadi ajudannya, ia berujar, "Ya, aku senang melihat wanita cantik. Aku akan merasa lebih berdosa bila berpura-pura dengan mengatakan tidak atau bersikap seakan tidak senang. Berpura-pura seperti itu namanya munafik dan aku tidak mau munafik." Di saat yang berbeda, ia juga pernah mengatakan, "Aku menjunjung Nabi Besar. Aku mempelajari ucapan-ucapan beliau dengan teliti. Jadi, moralnya bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang mengagumi perempuan yang cantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu, karena melakukan itu pada hakekatnya aku memuji Tuhan dan memuji apa yang telah diciptakanNya."
Siti Utari Tjokroaminoto, Inggit Ganarsih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manopo, Naoko Nemoto yang kemudian berganti nama menjadi Ratnasari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar, demikian nama kesembilan bunga hati Sukarno. Cinta memang buta, ia juga tak kenal usia, demikianlah faktanya yang terjadi dengan cinta Sukarno. Mulai dari yang lebih tua darinya 15 tahun (Inggit Ganarsih) hingga yang lebih muda 46 tahun (Heldy Djafar), semua telah jatuh dalam pesona Sukarno. Bagi Sukarno, kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si istri merupakan perpaduan daripada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Hal ini mungkin yang membuat Sukarno tetap bisa bersikap sama romantis terhadap istri tua maupun istri mudanya. Ia sanggup membuat istri-istrinya merasa bahwa merekalah satu-satunya wanita dalam hidup Sukarno.
Kepiawaian Sukarno mengambil hati wanita memang tidak diragukan lagi. Surat cinta, rayuan, dan sikap gentleman khas Sukarno menjadi hal yang masih dapat dikenang oleh istri dan mantan istrinya. Kendati beberapa diantaranya sudah bercerai dan menikah lagi dengan pria lain, mereka masih fasih membahasakan kembali sederetan kata indah yang pernah ditulis dan diucapkan oleh Sukarno. Banyak gelar yang akhirnya orang sandangkan pada Sukarno menyangkut keahliannya yang satu ini, diantaranya Arjuna, Casanava Cinta, dan Don Juan, sedangkan dari pengagumnya di luar negeri ia dijuluki A Great Lover. Sepak terjangnya memang telah sampai menjadi sorotan dunia, pers barat bahkan dengan sinis menyebutnya " Le Grand Seducteur - tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu".
Bagaimanapun penilaian kita pada pribadi Sukarno mengenai kehidupan asmaranya bersama wanita-wanitanya, beliau tetaplah aktor sejarah yang sangat berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia. Dibalik perjuangannya bagi bangsa ini, tertoreh nama Inggit Ginarsih yang Sukarno sendiri sebut sebagai Srikandi Indonesia di depan khalayak ramai pada waktu Kongres Indonesia Raya di Surabaya tahun 1931, dan Fatmawati sang penjahit bendera pusaka Indonesia.
Tidak tahu seberapa besar cintanya pada istri yang satu maupun istri yang lainnya namun satu hal yang pasti cintanya pada Ibu Pertiwi sangatlah besar. Ratna Sari Dewi dalam buku Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, menyatakan bahwa sesungguhnya Sukarno adalah seorang pahlawan sejati yang hanya mencintai negara dan bangsanya.

isme-isme yg mengguncang dunia

Sengketa besar dari abad kita ini adalah perjuangan di antara sistem totaliter yang agresif dan cara hidup yang bebas. Belum lama berselang ancaman utama terhadap kemerdekaan adalah Fasisme. Kekerasan dan teror komunisme totaliter dan fasisme, mulai dari kamp-kamp kerja paksa hingga pembunuhan secara besar-besaran yang direncanakan, mencerminkan satu ideologi fanatik yang tidak kenal kompromi.

KOMUNISME

Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia, selain kapitalisme dan ideologi lainnya. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana mereka itu mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh. Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan Marxisme. Komunisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis di seluruh dunia. Racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut “Marxisme-Leninisme”. Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi “tumpul” dan tidak lagi diminati.

Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi. Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme juga disebut anti liberalisme. Secara umum komunisme sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama dianggap candu yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata.

Tokoh-tokoh yang terkenal :

· Karl Marx

· Vladimir Lenin

FASISME

Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah.

Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.

Tokoh-tokoh yang terkenal :

· Benito Mussolini

· Adolf Hitler

· Kaisar Hirohito

· Jendral Peron

KAPITALISME

Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.

Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild sebagai cikal bakal kapitalisme. Saat ini, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka. Peleburan kapitalisme dengan sosialisme tanpa adanya pengubahan menjadikan kapitalisme lebih lunak daripada dua atau tiga abad yang lalu.

Tokoh-tokoh yang terkenal :

· Adam Smith

· Max Weber

· John locke

· Benjamin Franklin

Sosialisme

Istilah sosialisme atau sosialis dapat mengacu ke beberapa hal yang berhubungan dengan ideologi atau kelompok ideologi, sistem ekonomi, dan negara. Istilah ini mulai digunakan sejak awal abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, istilah ini digunakan pertama kali untuk menyebut pengikut Robert Owen pada tahun 1827. Di Perancis, istilah ini mengacu pada para pengikut doktrin Saint-Simon pada tahun 1832 yang dipopulerkan oleh Pierre Leroux dan J. Regnaud dalam l’Encyclopédie Nouvelle. Penggunaan istilah sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian yang dengan sistem ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak daripada hanya segelintir elite.

Menurut penganut Marxisme, terutama Friedrich Engels, model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke awal sejarah manusia dari sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Pada masa pencerahan abad ke-18, para pemikir dan penulis revolusioner seperti Marquis de Condorcet, Voltaire, Rousseau, Diderot, Abbé de Mably, dan Morelly, mengekspresikan ketidakpuasan mereka atas berbagai lapisan masyarakat di Perancis.

Tokoh-tokoh yang terkenal :

· Robert owen

· Plato

Bung Karno sebagai Guru Bangsa



Ditulis Oleh : Administrator
Di antara banyak predikat yang telah diberikan kepada Bung Karno, patutlah kiranya pada peringatan ulang tahunnya yang ke-102 ini ia juga dikenang sebagai guru bangsa. Sebagai pencetus maupun komunikator, banyak pemikiran penting telah menjadi sumbangan pendidikan tak terhingga bagi negara-bangsa ini.

Layaknya seorang guru yang cakap, ia mampu menyampaikan gagasan-gagasan penting dengan lancar, penuh imajinasi, dan komunikatif. Di tangannya, topik-topik bahasan yang sebenarnya berat menjadi gampang dicerna, mudah dipahami masyarakat luas.

Ingat, misalnya, saat secara berkala pada tahun 1958-1959 ia memberikan rangkaian "kuliah" guna menjelaskan kembali sila demi sila dari Pancasila sebagai dasar negara, masing-masing satu sila setiap kesempatan "tatap muka." Pada 26 Mei 1958 ia memulai rangkaian itu dengan memberi kuliah tentang pengertian umum Pancasila. Setelah menyampaikan penjelasan tentang berbagai bentuk kapitalisme dan perlawanan terhadapnya, ia menekankan bahwa Pancasila bukan hanya merupakan pandangan hidup, melainkan juga alat pemersatu bangsa.

Kuliah pembukaan itu disusul kuliah-kuliah serupa lain yang biasanya diadakan di Istana Negara dan disiarkan langsung melalui radio ke seluruh penjuru Tanah Air. Berbeda dengan pidato-pidato Bung Karno di depan massa yang biasanya berapi-api membakar semangat rakyat, kuliah-kuliah ini berjalan lebih rileks dan komunikatif.

Dengan kuliah-kuliah itu tampaknya Bung Karno ingin sekaligus mengingatkan, Istana Negara bukan tempat sangar atau sakral yang hanya boleh dimasuki presiden dan pejabat maha penting negeri ini, tetapi Istana milik rakyat, tempat masyarakat belajar mengenai banyak hal, termasuk dasar negara. Ia ingin menjadikan Istana (dan mungkin Indonesia umumnya) sebagai "ruang kuliah" di mana terselenggara proses belajar-mengajar antara masyarakat dan pemimpinnya.

Teori dan praksis

Dari teori-teori filsafat dan politik serta acuan-acuan historis yang digunakan dalam mengurai sila-sila Pancasila, tampak pengetahuan Soekarno amat luas dan dalam. Dalam uraian-uraiannya, tidak jarang ia menyitir pikiran Renan, Confusius, Gandhi, atau Marx. Dengan begitu, ia seolah ingin menunjukkan dan memberi contoh, tiap warga negara perlu terus memperluas pengetahuannya. Meski ia sendiri sebenarnya dididik sebagai orang teknik, namun amat akrab dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, sejarah, politik, dan agama.

Dalam salah satu kuliahnya Bung Karno menyinggung kembali pertemuan dan dialognya dengan petani miskin Marhaen. Dialog sendiri sudah berlangsung jauh sebelumnya, tetapi ia masih mampu mengingat dan menggambarkan amat jelas. Ini menandakan, Soekarno menaruh perhatian pada perjumpaannya dengan wong cilik, rakyat jelata, dan ingin menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan bersama guna membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan. Baginya retorika memperjuangkan rakyat yang tidak disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat adalah omong kosong.

Dengan kata lain, sebagai guru bangsa ia tak suka hanya berkutat di dunia teori, tetapi juga menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari bangsanya. Bung Karno selalu berupaya keras mempertemukan "buku" dengan "bumi," menatapkan teori-teori sosial-politik dengan realitas keseharian manusia Indonesia yang sedang ia perjuangkan.

Bung Karno terus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan aksi. Mungkin inilah salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin lain, baik yang sezamannya maupun sesudahnya.

Perlu diingat, lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan uraian dan gagasannya, satu hal tak dapat diragukan tentang Soekarno: ia bukan seorang pejabat yang korup. Sulit dibayangkan, Soekarno suka menduduki posisi-posisi tertentu di pemerintahan karena ingin mencuri uang rakyat atau menumpuk kekayaan untuk diri sendiri.

Perjuangan Soekarno adalah perjuangan tulus, yang disegani bahkan oleh orang-orang yang tak sepaham dengannya. Karena itu, tak mengherankan betapapun ruwetnya ekonomi Indonesia di bawah pemerintahaannya, tak terlihat kecenderungan pejabat-pejabat pemerintah di zaman itu yang tanpa malu korupsi atau berkongkalikong menjual sumber-sumber alam milik rakyat.

Absennya guru-guru lain

Bagaimanapun juga, sebagai seorang manusia Bung Karno bukan tanpa kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara, misalnya, ia tampak "menikmati" posisinya sehingga ada kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai seorang pelayan publik dalam tata masyarakat demokratis. Sebagai presiden seharusnya ia menyadari kedudukannya sebagai seseorang yang menjabat sejauh rakyat memberi mandat padanya, itu pun disertai batasan masa jabatan tertentu.

Rupanya Bung Karno tidak terlalu menghiraukan hal itu. Karenanya ketika tahun 1963 diangkat sebagai presiden seumur hidup, ia tidak menolak.

Sebagai seorang guru yang memandang negerinya sebagai sebuah "ruang kuliah" raksasa dan rekan-rekan sebangsanya sebagai "murid-murid" yang patuh, terkesan Bung Karno tak memerlukan adanya "guru-guru" lain. Ia tak keberatan akan keberadaan mereka, tetapi-sadar atau tidak-"gaya mengajar"-nya mendorong tokoh-tokoh lain yang potensial untuk juga menjadi guru bangsa terpaksa menyingkir atau tersingkir.

Kita belum lupa ketika pada 1 Desember 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Kita juga masih ingat bagaimana orang-orang dekat Bung Karno-seperti Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Moh Natsir, dan lainnya-satu per satu menjauh darinya.

Pada pertengahan 1950-an rupanya perhatian Bung Karno yang begitu besar kepada posisinya sendiri membuatnya kurang menyadari bahwa dampak Perang Dingin telah kian jauh merasuki Indonesia. Kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 dan pemilu daerah tahun 1957, misalnya, telah benar-benar mempengaruhi perhatian dan kebijakan para pelaku utama Perang Dingin terhadap Indonesia.

Di satu pihak, Cina dan Uni Soviet menyambut kemenangan itu dengan gembira karena menandakan kian meluasnya komunisme di Indonesia. Di lain pihak, bagi AS dan sekutunya, kemenangan itu meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan "lepas" dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam pola pikiran teori domino, lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan Barat di Asia Tenggara.

Sedikit demi sedikit panggung ketegangan pun dibangun. Tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan berdarah antara PKI dan unsur-unsur bersenjata yang didukung Barat. Bung Karno sadar, tetapi terlambat. Dengan gemetar ia terpaksa menyaksikan ratusan ribu rakyat yang ia cintai dibantai secara terencana dan brutal.

Sedikit demi sedikit ia dijepit. Akhirnya guru bangsa yang besar ini disingkirkan dari panggung kekuasaan. Ia pun wafat sebagai seorang tahanan politik yang miskin, di negeri yang kemerdekaannya dengan gigih ia perjuangkan.

Akhir hidup Bung Karno memang memilukan. Tetapi ajaran-ajarannya sebagai guru bangsa tetap relevan dan penting untuk negara-bangsa ini. Orang dapat belajar tidak hanya dari apa yang dikatakan, tetapi juga dari tindakan, berikut keunggulan dan kelemahannya. Kita berharap kaum muda negeri ini tak jemu untuk terus belajar dari sejarah, termasuk dari Bung Karno sebagai guru bangsa.

Tentang Nasionalisme


Tentang Nasionalisme
Ditulis Oleh : Administrator
• Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi
"perkakasnya Tuhan", dan membuat kita menjadi "hidup di dalam
rokh".
[Suluh Indonesia Muda, 1928]

• Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya itu bukan se-mata-mata
copie atas tiruan dari Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa
cinta akan manusia dan kemanusiaan.
[Di bawah bendera revolusi, hlm. 5]
• Nasionalisme Eropa ialah satu Nasionalisme yang bersifat serang
menyerang, satu Nasionalisme yang mengejar keperluan Beograd, sat
Nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, Nasionalisme
semacam itu pastilah salah, pastilah binasa.
[Di bawah bendera revolusi, hlm. 6]
• Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan menjadi buruh antara
bangsa-bangsa. Tuan-tuan Hakim-itu bukan nyaman... Tidaklah
karenanya wajib tiap-tiap nasionalls mencegah keadaan itu dengan
seberat-beratnya ?
[Indonesia menggugat, hlm. 58]
• Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kita kira seperti kursi-
kursi yang dijajarkan. Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah sat
jiwa, maka kita pada waktu memikirkan dasar statis atau dasar dinam
bagi bangsa, tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu
Beograd.
[[Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 37]
• Entah bagaimana tercapainya "persatuan" itu, entah bagaimana
rupanya "persatuan" itu, akan tetapi kapal yang membawa kita ke
Indonesia - Merdeka itu, ialah ...."Kapal Persatuan" adanya.
[Di bawah bendera revolusi, hlm. 2]

sarinah

Tentang wanita
Ditulis Oleh : Administrator
• Tetapi pikiran saya melayang, melayang memikirkan satu soal-soal W
a n i t a. Kemerdekaan! Bilakah Sarinah-Sarinah mendapat
kemerdekaan! Tetapi, ya kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan
yang di kehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak,
menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki?.
Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum?
Kemerdekaan ala Kollontay?
[Sarinah, hlm. 8]

• Sesungguhnya kita harus belajar insaf, bahwa soal masyarakat dan
Negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-
laki. Dan soal perempuan adalah suatu soal masyarakat dan negara.
[Sarinah, hlm. 14]

• Dan kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang sstu menindas
saf yang lain. Harmoni hanya dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di
atas yang lain, tetapi dua "saf" itu sama derajat, berjajar yang satu
dengan yang lain, yang satu memperkuat yang lain. Tetapi masing-
masing menurut kodratnya Beograd.
[Sarinah, hlm. 15]
Kaum laki-laki marilah kita memikirkan soal ini. Dan marilah kita ikut
memikirkan soal perempuan sebab di dalam masyarakat sekarang ini,
saya melihat bahwa kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang
Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai perempuan.
[Sarinah, hlm. 14]

Tiada masyarakat manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki-
perempuan yang satu tidak membawa yang lain, karenanya janganlah
masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju subur, kalau tidak
dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula.
[Sarinah, hlm. 17]

bahasa nasional,, bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia

JANJIKU sudah terpenuhi. Pendidikanku sudah selesai. Mulai saat ini untuk seterusnya tidak ada yang akan menghalang‐halangiku menjalankan pekerjaan untuk mana aku dilahirkan.Semenjak aku berdiri diatas jambatan di Surabaya itu dan mendengarkan jeritan rakyatku, aku menyadari bahwa akulah yang harus berjuang untuk mereka. Hasrat yang menyala‐nyal untuk membebaskan rakyatku bukanlah hanya ambisi perorangan. Jiwaku penuh dengan itu. Ia melewati sekujur badanku. Ia mengisi padat lubang hidungku. Ia mengalir melalui urat nadiku. Untuk itulah orang mempersembahkan seluruh hidupnya. Ia lebih daripada hanya sebagai kewajiban. Ia lebih daripada panggilan jiwa. Bagiku ia adalah satu …… kejakinan. Menurut para mahaguru tesisku tentang konstruksi pelabuhan dan jalanan air ditambah dengan teoriku tentang perencanaan kota mempunyai “nilai penemuan dan keaslian yang begitu tinggi”, sehingga untukku disediakan jabatan sebagai assisten dosen. Aku menolaknya. Juga ditawarkan pekerjaan pemerintahan kota. Inipun kutolak. Salah seorang mahaguru, Professor Ir. Wolf Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warna kulit. Baginya tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginya tidak ada pengikatan atau kebebasan. Dia hanya menundukkan kepala kepada kemampuan seseorang. “Saya menghargai kecakapanmu,” katanya. “Dan saya tidak ingin kecakapan ini tersia‐sia. Engkau mempunyai pikiran yang kreatif. Jadi saya minta supaya engkau bekerja dengan pemerintah. “Sungguhpun aku keberatan, ia menyerahkanku kepada Direktur Pekerdjaan Umum yang meminta kepadaku untuk merencanakan suatu proyek untuk perumahan Bupati. Insinyur kepalanya sudah tentu seorang Belanda yang tidak mengenal sama sekali kehidupan orang Indonesia dan kebutuhannya. Akan tetapi oleh karena aku tidak menghendaki pekerjaan ini, kusampaikan kepadanya pendapatku tentang rencana arsitekturnya, “Maafkan saya, tuan, konsepsi tuan didasarkan pada semangat pedagang rempah rempah Belanda. Setiap orang Belanda merencanakan secara teknis salah. Persil‐persil di Bandung hanya 15 meter lebar dan 20 meter ke dalam dan rumah‐rumahnya sempit. Kota Bandung direncanakan seperti kandang ayam. Bahkan jalannya sempit, karena ia dibuat menurut cara berpikir Belanda yang sempit. Sama saja dengan proyek yang tuan rencanakan. Ia tidak mempunyai ‘Schwung’. “Karena aku telah menolak pekerjaan yang diberikan itu, aku merasa wajib memberi penjelasan kepada Professor Schoemaker, “Tuan telah menyatakan, bahwa saya dalam ruang lingkup yang kecil memiliki daya cipta. Yah, saya ingin mencipta,” kataku dengan hebat. “Akan tetapi untuk saya sendiri.

Saja tidak yakin dikemudian hari akan menjadi pembangun rumah. Tujuan saya ialah untuk menjadi pembangun dari suatu bangsa. “Politik usang dari Gerakan Kebangsaan kami, yaitu mengadakan dengan pemerintah dengan cara mengemis‐ngemis, hanya menghasilkan janji‐janji yang.tidak ditepati. Dengan usaha saya, kami baru‐baru ini memulai politik non‐kooperasi. Ini didasarkan pada kehendak percaya pada diri sendiri dan di bidang ekonomi terlepas dari bantuan negara asing. “Kawanku itu mendengarkan dengan tenang, kemudian berkata, “Anak muda, hendaknya bakatmu dipergunakan secara maksimal. Kalau engkau berdiri sendiri, ini akan memakan waktu bertahun‐tahun untuk bisa maju. Hanya orang‐orang Belanda yang berpangkat tinggi atau pegawai pemerintahlah yang bisa berhasil mengadakan biro arsitek. Dan mereka tentu keberatan untuk mempekerjakan seorang muda yang tidak berpengalaman dan juga kebetulan berada paling atas dalam daftar hitam polisi, karena dianggap sebagai pengacau. Usul saya ini adalah permulaan yang baik untukmu.” Pandangannya itu memang baik. “Professor, saya menolak untuk bekerja‐sama, supaya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saya bekerja dengan pemerintah, secara diam‐diam saya membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu. Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan untuk menjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama‐lamanya.” “Jangan terima pekerjaan jangka lama, kalau sekiranya perasaan tidak senangmu begitu kuat,” ia mempertahankan, “Akan tetapi buatlah satu rumah ini saja untuk Bupati. Cobalah kerjakan ….. Kerjakanlah atas permintaan saya. “Aku melakukan sebagaimana yang dimintanya. Pekerjaan ini sangat berhasil dan aku dibanjiri dengan permintaan untuk mengerjakan karya teknik semacam itu untuk pejabat‐pejabat lain. Sungguhpun bantuan uang dari keluargaku sudah tidak ada lagi semenjak aku selesai dan sekalipun aku tidak mempunyai jalan yang nyata untak membantu isteriku, aku menolaknya. Aku membuat rencana Kabupaten hanya karena sangat menghargai dan menghormati Professor itu. Akan tetapi ini adalah yang pertama dan terakhir aku bekerja untuk Pemerintah. Kemudian, ketika Departemen Pekerdjaan Umum menawarkan kedudukan tetap kepadaku, aku menolaknya dengan alasan bahwa aku memperjuangkan non‐kooperasi. Aku sangat memerlukan uang dan pekerjaan. Aku sudah tidak mempunyai harapan sama sekali untuk memperoleh kedua‐duanya ini ketika aku mendengar lowongan di sekolah Yayasan Ksatrian yang diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi. Mereka mencari seorang guru yang akan mengajar dalam dua mata pelajaran. Yang pertama adalah sejarah, untuk mana aku sangat berhasrat besar. Mata pelajaran yang lain? Ilmu pasti! Dan dalam segala segi‐seginya lagi! Jadi sebagaimana telah kutegaskan dengan segala kejujuran yang pahit, kalau ada mata pelajaran yang sama sekali tidak bisa kuatasi, maka itulah dia ilmu pasti. Akan tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Guru yang ditugaskan untuk melakukan tanya jawab bertanya, “Ir. Sukarno, tuan adalah insinyur yang berijazah, jadi tentu tuan ahli dalam ilmu pasti, bukankah begitu?” ,”Oh, ya tuan,” aku menyeringai merecik kepercayaan. — “Ya, tuan. Ya, betul. Saya menguasainya.” Baiklah, tuan dapat mengadar ilmu pasti?” tanyanya. “Mengapa tidak,” aku membohong. “Saya menguasai betul ilmu pasti. Menguasainya sungguh‐sungguh. Ini mata pelajaran yang saya senangi.” Inggit dan aku sudah kering sama sekali, tidak mempunyai apa‐apa lagi. Apa yang dapat kami suguhkan kepada tamu hanya secangkir teh encer tanpa
gula. Jadi, apa yang harus kukatakan kepadanya? Bahwa aku sama sekali tidak dapat mengajar ilmu pasti? Bahwa sesungguhnya aku gagal dalam pelajaran itu?. Kalau demikian, tentu aku tidak akan memperoleh pekerjaan itu. Temanku, Dr. Setiabudi, datang sendiri kepadaku dan sekali lagi bertanya, “Bagaimana pendapatmu sesungguhnya, bisakah engkau mengajar?” Dan kuulangi dengan suara yang tergoncang dan tersinggung, “Apakah saya bisa mengajar? Tentu saya bisa mengajar. Tentu saja saya bisa. Sudah pasti.” Ilmu pasti juga?” Ya, ilmu pasti juga.” Aneh, kenyataannya aku menghadapi kesukaran justru dalam pelajaran sejarah. Kelasku berjumlah 30 orang murid, termasuk Anwar Tjokroaminoto. Tak seorangpun memberiku petunjuk dalam cara mengajar. Jadi aku mencobakan caraku sendiri. Sayang, aku tidak berhasil mendekati metode yang resmi. Dalam pelajaran sejarah aku mempunyai gayaku sendiri. Aku tidak menyesuaikan sama sekali teori bahwa anak‐anak harus diajar secara kenyataan. Angan‐anganku ialah hendak menggerakkan mereka supaya bersemangat. Aku lebih berpegang pada pengertian sejarah daripada mengajarkan nama‐nama, tahun dan tempat. Aku tak pernah memusingkan kepala tentang tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau tahun berapa Napoleon gagal di Waterloo atau hal‐hal lain yang sama remehnya seperti apa yang biasanya mereka ajarkan di sekolah. Kalau seharusnya aku memperlakukan murid‐muridku sebagai anak‐anak yang masih kecil, yang kemampuannya dalam mata pelajaran ini terpusat pada mengingat fakta‐fakta, maka aku berfalsafah dengan mereka. Aku memberikan alasan mengapa ini dan itu terdjadi. Aku memperlihatkan peristiwaperistiwa sejarah secara sandiwara. Aku tidak memberikan pengetahuan secara dingin dan kronologis. Ooo tidak, Sukarno tidak memberikan hal semacam itu. Itu tidak bisa diharapkan dari seorang orator yang berbakat dari lahirnya. Aku mengayunkan tanganku dan mencobakannya. Kalau aku bercerita tentang Sun Yat Sen, aku betul‐betul berteriak dan memukul meja. Sudah menjadi aturan dari Departemen Pengajaran Hindia Belanda, sekolah‐sekolah dikunjungi oleh penilik‐penilik sekolah pada waktu‐waktu tertentu. Pada waktunja jang tepat seorang penilik sekolah datang mendengarkan pelajaran sejarahku. Dia duduk dengan tenang dibelakang kelas untuk memperhatikan. Selama dua jam aku mengajar dengan cara yang menurut pikiranku paling baik, sementara mana aku menyadari bahwa dia mendengarkan dengan saksarna. Secara kebetulan pelajaran kali ini berkenaan dengan Imperialisme. Karena aku sangat menguasai pokok persoalan ini, aku menjadi begitu bersemangat sehingga aku terlompat‐lompat dan mengutuk seluruh sistemnya. Dapatkah engkau membayangkan? Di hadapan penilik sekolah bangsa Belanda yang memandang padaku dengan wajah tidak percaya, aku sungguh‐sungguh menamakan Negeri Belanda sebagai “Kolonialis yang terkutuk ini”! Ketika pelajaran dan kisahku kedua‐duanya selesai, penilik sekolah itu menyatakan dengan seenaknya bahwa menurut pendapatnya sesungguhnya aku bukan pengajar yang terbaik yang pernah dilihatnya dan bahwa aku tidak mempunyai masa depan yang baik dalam pekerjaan ini. Ia berkata kepadaku, “Raden Sukarno, tuan bukan guru, tuan seorang pembicara!” Dan inilah akhir daripada karierku yang singkat sebagai guru. 26 Djuli 1926 aku membuka biro teknikku yang pertama, bekerjasama dengan seorang teman sekelas, Ir. Anwari. Aku tak pernah lagi mendapat kesempatan untuk memasuki Ruang Keilmuan. Kehidupan segera memikulkan beban di atas pundakku dan melemparkan aku ke atas tumpukan sampah dan ke dalam pondok‐pondok yang bocor dan goyah. Kehidupan melemparkan daku ke pasar‐pasar. Kehidupan membuangku ke hutan‐hutan, ke kampung‐kampung dan sawah‐sawah. Aku tidak mendjadi guru. Aku menjadi juru khotbah. Mimbarku adalah pinggiran jalan. Kumpulanku? Massa rakyat menggerumut yang sangat merindukan pertolongan. Di tahun 1926 aku mulai mengkhotbahkan nasionalisme terpimpin. Sebelum itu aku hanya memberikan kepada pendengarku kesadaran nasional lebih banyak daripada yang mereka ketahui sebelumnya. Sekarang aku tidak saja mengoyak‐oyak mereka untuk bangun, akan tetapi aku memimpin mereka. Aku menerangkan, bahwa sudah datang waktunya untuk menjelmakan suatu masyarakat baru yang demokratis sebagai ganti feodalisme yang telah bercokol selama berabad‐abad. Aku berkata kepada para pendengarku, “Kita tidak lagi akan membiarkan diri kita secara patuh mengikuti cara hidup yang akan membawa kita kepada kehancuran kita sendiri. Kehidupan yang terdiri dari kelas‐kelas, kasta‐kasta dan yang punya dan tidak punya menimbulkan perbudakan. Di dalam kehidupan modern manusia berjuang untuk meninggikan harkat kehidupan rakyat. Mereka yang tidak menghiraukan hal ini akan dibinasakan oleh rakyat banyak dan oleh bangsa‐bangsa yang berjuang untuk memperoleh haknya. “Kita memerlukan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan selama hidup kita. Mari kita tanggalkan pemakaian gelar‐gelar. Walaupun saya dilahirkan dalam kelas
ningrat, saya tidak pernah menyebut diriku raden dan saya minta kepada saudara‐saudara mulai dari saat ini dan untuk seterusnya supaya saudara‐saudara jangan memanggil saya raden. Mulai dari sekarang jangan ada seorangpun menyebutku sebagai Tedaking Kusuma Rembesing Madu “Keturunan Bangsawan”. Tidak, aku hanya cucu dari seorang petani. Feodalisme adalah kepunyaan masalah yang sudah dikubur. Feodalisne bukan kepunyaan Indonesia di masa yang akan datang. “Sementara aku mendidik para pendengarku untuk menghabisi sistem feodal, aku melangkah selangkah maju, ialah ke bidang bahasa. Dalam bahasa Jawa saja terdapat 13 tingkatan yang pemakaiannya tergantung pada siapa yang dihadapi berbicara, sedang kepulauan kami mempunyai tidak kurang dari 86 dialek semacam itu. “Sampai sekarang,” kataku, “bahasa Indonesia hanya dipakai oleh kaum ningrat. Tidak oleh rakyat biasa. Nah, mulai dari hari ini menit ini mari kita berbicara dalam bahasa Indonesia. “Hendaknya rakyat Marhaen dan orang bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. Hendaknya seseorang dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara‐saudaranya di pulau lain dalam bahasa yang sama. Kalau kita, yang beranak‐pinak seperti kelinci, akan menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita harus mempunyai satu bahasa persatuan. Bahasa dari Indonesia Baru.”Sebelurn ini, seorang Jawa dari golongan rendah tidak boleh sekali‐kali menanyakan kepada orang Jawa yang lebih tinggi derajatnya, ‘Apakah engkau memanggil saya?’ Dia tidak akan berani mengucapkan begitu saja perkataan “engkau” kepada orang yang lebih atas. Seharusnya ia memakai perkataan “kaki tuan” atau “kelom tuan”. Dia harus mengucapkan, “Apakah kelom tuan memanggil saya? “Tingkatan perhambaan semacam inipun dinyatakan dengan gerak. Aku menunjuk dengan jari telunjukku, akan tetapi orang jang lebih rendah tingkatnya dihadapanku akan menunjuk dengan ibu jari. Keramahan yang demikian itu memberikan kepada si penjajah suatu senjata rahasia yang membantu melahirkan suatu bangsa “cacing” dan “katak” seperti mereka menamakannya. Kamipun disebut sebagai “rakyat yang paling pemalu di dunia. “Bertahun‐tahun kemudian aku tergila‐gila pada seorang Puteri yang muda dan cantik dari salah satu kraton di Jawa, akan tetapi penasehatpenasehatku menyatakan, bahwa aku sebagai orang yang telah bergabung dengan rakyat jelata tidak mungkin mengawininya. Sekalipun hatiku luka, mereka menunjukkan bagaimana aku telah memimpin pemberontakan melawan feodalisme, jadi tidak bisa sekarang memasuki golongan itu. Dan berahirlah hubungan ini dengan suatu kisah percintaan secara platonis. Di kalangan kaum bangsawan di Jawa seorang isteri tidak pernah kehilangan derajatnya yang tinggi. Kalau ia mengawini seorang lelaki yang lebih rendah derajatnya, suaminya harus mengajukan permohonan untuk berbuat sesuatu. Bahkan untuk bercintaan dengan isterinya sendiri, si suami yang boleh jadi bergelar raden, terlebih dulu harus meminta izin dari isterinya. Mungkin maksudnya baik. Akan tetapi, aku tidak dapat melihat Sukarno dalam
kedudukan yang demikian. Di jaman Feodal kami tidak mempunyai bentuk panggilan yang luas seperti Mister, Mistres, Miss atau yang dapat mencakup seluruh lapisan dan tingkat seseorang. Ketika aku memaklumkan Bahasa Indonesia, kami memerlukan suatu rangkaian sebutan yang lengkap yang dapat dipakai secara tidak berubah‐ubah antara tua dan muda, kaya dan miskin, Presiden dan rakyat tani. Di saat itulah kami mengembangkan sebutan Pak atau Bapak, Bu atau Ibu dan Bung yang berarti saudara. Di jaman Revolusi Kebudayaan inilah aku mulai dikenal sebagai Bung Karno. Tahun 1926 adalah tahun dimana aku
memperoleh kematangan dalam tiga segi. Segi yang kedua adalah dalam kepercayaan. Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata‐mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu melalui permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku maka kemerdekaan bagi seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama. Ketika konsep keagamaanku meluas, ideologi dari Pak Tjokro dalam pandanganku semakin sempit dan semakin sempit juga. Pandangannya tentang kemerdekaan untuk tanah air kami semata‐mata ditinjau melalui lensa mikroskop dari agama Islam. Aku tidak lagi menoleh kepadanya untuk belajar. Juga kawan‐kawannya tidak lagi menjadi guruku. Sekalipun aku masih seorang pemuda, aku tidak lagi menjadi penerima. Aku sekarang sudah menjadi pemimpin. Aku mempunyai pengikut. Aku mempunyai reputasi. Aku sudah menjadi tokoh politik yang sederajat dengan Pak Tjokro. Dalam hal ini tidak terjadi pemutusan tiba‐tiba. Ini terjadi lebih mirip dengan pemisahan diri secara pelahan sedikit demi sedikit. Sekalipun antara Pak Tjokro dan aku terdapat perbedaan yang besar di bidang politik, akan tetapi antara kami tetap terjalin hubungan yang erat. Orang Asia tidak menemui kesukaran untuk membedakan ideologi dengan peri‐kemanusiaan. Ketika seorang nasionalis bernama Hadji Misbach menyerang Pak Tjokro secara serampangan dalam suatu kongres, kuminta supaya dia
minta ma’af kepada kawan lamaku itu. Hadji Misbach kemudian menyatakan penyesalannya. Menentang seseorang dalam bidang politik tidaklah berarti bahwa kita tidak mencintainya secara pribadi. Bagi kami, yang satu tidak ada hubungannya dengan yang lain. Hal ini tidak dapat diselami oleh pikiran orang Barat, tapi ini senada dengan mentalita orang Timur. Misalnya saja, kusebut Pak Alimin dan Pak Muso. Keduaduanya sering bertindak sebagai guruku dalam politik ketika aku tinggal di rumah Pak Tjokro. Kemudian mereka berpindah kepada Komunisme, pergi ke Moskow dan belakangan di tahun 1948, setelah aku menjadi Presiden, mengadakan pemberontakan Komunis dan usaha perebutan kekuasaan. Mereka merencanakan kejatuhanku. Akan tetapi orang Jawa mempunyai suatu peribahasa, “Gurumu harus dihormati, bahkan lebih daripada orangtuamu sendiri.” Ketika Pak Alimin sudah terlalu amat tua dan sakit, aku mengunjunginya. Lalu surat‐surat kabar mengoceh, “Hee, lihat Sukarno mengunjungi seorang Komunis! “Ya, Pak Alimin telah mencoba menjatuhkanku. Akan tetapi dia adalah salah‐seorang guruku di hari mudaku. Aku berterima kasih kepadanya atas segala yang baik yang telah diberikannya kepadaku. Aku berhutang budi kepadanya. Yang sama beratnya untuk dilupakan ialah kenyataan, bahwa dia adalah salah seorang perintis kemerdekaan. Seseorang yang berjuang untuk pembebasan tanah airnya —tak pandang bagaimana perasaannya terhadapku kemudian — berhak mendapat penghargaan dari rakyatnya dan dari Presidennya. Sama juga halnya dengan Pak Tjokro. Sampai di hari aku akan menutup mata untuk selama‐lamanya, aku akan tetap menulis namanya dengan hati yang lembut. Dalam bidang politik Bung Karno adalah seorang Nasionalis. Dalam kepercayaan Bung Karno seorang yang beragama. Akan tetapi Bung Karno mempunyai kepercayaan yang bersegi tiga. Dalam bidang ideologi, ia sekarang menjadi sosialis. Kuulangi bahwa aku menjadi sosialis. Bukan Komunis. Aku tidak menjadi Komunis. Masih saja ada orang yang berpikir bahwa Sosialisme sama dengan Komunisme. Mendengar perkataan sosialis mereka tidak dapat tidur. Mereka melompat dan memekik, “Haaa, saya sudah tahu! Bahwa Bung Karno seorang Komunis!” Tidak, aku bukan Komunis. Aku seorang SosiaIis. Aku seorang Kiri. Orang Kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis, imperialis yang ada sekarang. Kehendak untuk menyebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat bercekcok dengan orang Komunis. Kiriphobi, penyakit takut akan cita‐cita kiri, adalah penyakit yang kutentang habis‐habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilisme. Bagaimana suatu negeri yang miskin menyedihkan seperti negeri kami dapat menganut suatu aliran lain kecuali haluan sosialis? Mendengar aku berbicara tentang demokrasi, seorang pemuda menanyakan apakah aku seorang demokrat. Aku berkata, “Ya, aku pasti sekali seorang demokrat.” Kemudian dia berkata, “Akan tetapi menurut pandangan saya tuan seorang sosialis.” Saya sosialis, jawabku. Ia menyimpulkan semua itu dengan, “Kalau begitu tentu tuan seorang sosialis demokrat.” Mungkin ini salah satu jalan untuk menamaiku. Orang Indonesia berbeda dengan bangsa lain di dunia. Sosialisme kami adalah sosialisrne yang dikurangi dengan pengertian rnaterialistisnya yang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang terutama takut dan cinta kepada Tuhan. Sosialisme kami adalah suatu campuran. Kami menarik persamaan politik dari Declaration of Independence dari Amerika. Kami menarik persamaan spiritual dari Islam dan Kristen. Kami menarik persamaan ilmiah dari Marx. Ke dalam campuran yang tiga ini kami tambahkan kepribadian nasional: Marhaenisme. Kemudian kami memercikkan ke dalamnya Gotong‐royong yang menjadi jiwa, inti daripada bekerja bersama, hidup bersama dan saling bantu‐membantu. Kalau ini dicampurkan semua, maka hasilnya adalah Sosialisme Indonesia. Konsepsi‐konsepsi ini, yang dimulai semenjak tahun duapuluhan dan tak pernah aku menyimpang daripadanya, tidak termasuk begitu saja dalam penggolongan sesuai dengan jalan pikiran orang Barat, tetapi memang orang harus mengingat, bahwa aku tidak mempunyai jalan pikiran Barat. Merubah rakyat sehingga mereka tergolong dengan baik dan teratur ke dalam kotak Barat tidak mungkin dilakukan. Para pemimpin yang telah mencoba, gagal dalam usahanya. Aku selalu berpikir dengan cara mentalita Indonesia. Semenjak dari sekolah menengah aku telah menjadi pelopor. Dalam hal politik aku tidak berpegang kepada salah satu contoh. Mungkin inilah yang menyebabkan, mengapa aku jadi sasaran dari demikian banyak salah pengertian. Aliran politikku tidak sama dengan aliran orang lain. Tapi disamping itu latar belakangku pun tidak bersamaan dengan siapapun juga. Nenekku memberiku kebudajaan Jawa dan Mistik. Dari bapak datang Theosofisme dan Islamisme. Dari ibu Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Dari Pak Tjokro datang Sosialisme. Dari kawan‐kawannya datang Nasionalisme.Aku menambah renungan‐renungan dari Karl Marxisme dan Thomas Jeffersonisme. Aku belajar ekonomi dari Sun Yat Sen. Aku belajar kebaikan dari Gandhi. Aku sanggup mensynthese pendidikan secara ilmu modern dengan kebudayaan animistik purbakala dan mengambil ibarat dari hasilnya menjadi pesan‐pesan pengharapan yang hidup dan dapat dihirup sesuai dengan pengertian dari rakyat kampung. Hasil yang keluar dari semua ini dinamakan orang —dalam istilah biasa— Sukarnoisme. Aku tumbuh dari Sarekat Islam, akan tetapi belum menukarnya dengan partai lain yang formil. Apa yang disebut organisasi politikku di tahun 1926 adalah pertumbuhan dari Bandung Studenten Club yang disponsori oleh universitas, agar para mahasiswa dapat bermain bridge atau bilyar. Ia didirikan untuk pesta‐pesta dan kegembiraan. Anak Bumiputera dibolehkan masuk club itu akan tetapi, setelah mengikutinya, aku menyadari bahwa kami tidak dapat menjadi anggota pengurus. “Saya tidak dapat menerima keadaan semacam itu,” kataku, “Saya akan keluar dari perkumpulan ini.” Seperti di Mojokerto, setiap orang main ikut‐ikutan dengan pemimpin. Pada waktu Sukarno keluar dari Bandung Studenten Club ini, anak Indonesia lainnya pun mengikutinya. Dengan lima orang anak Indonesia aku mendirikan Perkumpulan Studi. Aku memilih bahan bacaan yang bernilai seperti “Handelingen der Tweede Kamer van de Staten Generaal” (Kegiatan Tweede Kamer dari Staten Generaal Negeri Belanda) dari perpustakaan. Dan kami secara berganti‐ganti membacanya seminggu seorang. Pada setiap penutupan lima mingguan sekali kami mengadakan pertemuan —biasanya di rumahku — dan duduk sepanjang malam memperdebatkan pokokpokok dari strategi yang ada di dalamnya. Orang selalu dapat mengetahui, kapan Bung Karno mempelajari buku itu. Kalimat‐kalimat yang perlu, diberi bergaris dibawahnya. Paragraf‐paragraf diberi lingkaran. Siapa saja yang membacanya setelah itu dapat melihat dengan mudah aliran pikiranku. Kutuliskan kritik‐kritikku dipinggir pinggir halaman. Aku memberi tanda halaman‐halaman yang kusetujui
dan memberi catatan dibawah halaman‐halaman yang tidak kusetujui. Tadinya segar dan bersih dari rak perpustakaan, jilid‐jilid yang berharga itu kemudian tidak lagi bersih sesudah itu. Ke dalam Algemeene Studiclub ini hinggaplah intellektuil‐intellektuil muda bangsa Indonesia, banyak yang baru saja kembali dari Negeri Belanda dengan ijazah kesarjanaannya yang gilang‐gemilang ditangan mereka. Pertukaran buah‐pikiran dalam bidang politik yang aktif adalah kegiatan kami yang pokok. Cabang‐Cabang dari Studieclub ini tumboh di Solo, Surabaya dan kota lainnya di Jawa. Kami kemudian menerbitkan majalah perkumpulan — Suluh Indonesia Muda — dan, sebagaimana dapat diduga, Ketua Sukarno adalah penyumbang tulisan yang pertama. Karena aku begitu terikat dalam soalsoal politik sehingga kurang memikirkan soal‐soal lain, maka biro teknikku merosot sehingga ia mati sama sekali. Pikiranku terlalu sangat tertuju kepada segi yang dalam dari kehidupan ini daripada memikirkan yang tidak berarti, sehingga dimalam terang bulan yang penuh gairah aku bahkan lebih memikirkan isme daripada memikirkan Inggit. Pada waktu muda‐mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan “Das Kapital”. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi. Jadi aku mendekati achir daripada windu yang ketiga. Sewindu adalah suatu jangka waktu yang lamanya delapan tahun. Tahun 1901 sampai 1909 adalah windu dengan pemikiran kanak‐kanak. 1910 sampai 1918 adalah windu pengembangan. 1919 sampai 1927 windu untuk mematangkan diri. Aku sudah siap sekarang

Desember 27, 2009
Kategori: Uncategorized . Yang berkaitan: rBUNG KARNO: PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT . Penulis: SOEKARNO

SUKARNO :"MEMBANGUN DUNIA KEMBALI (TO BUILD THE WORLD A NEW)"



SUKARNO :"MEMBANGUN DUNIA KEMBALI (TO BUILD THE WORLD A NEW)

(Diketik dari Pidato Presiden Sukarno didepan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 30 September 1960, disalin dari teks aslinya dalam bahasa Inggris)
*
Tuan Ketua,
Para Yang Mulia,
Para Utusan dan Wakil yang terhormat,
Hari ini, dalam mengucapkan pidato kepada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, saya merasa tertekan oleh suatu rasa tanggung-jawab yang besar. Saya merasa rendah hati berbicara dihadapan rapat agung daripada negarawan-negarawan yang bijaksana dan berpengalaman dari timur dan barat, dari utara dan dari selatan, dari bangsa-bangsa tua dan dari bangsa-bangsa muda dan dari bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali dari tidur yang lama. Saya telah memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar lidah saya dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan perasaan hati saya, dan saya juga telah berdoa agar kata-kata ini akan bergema dalam hati sanubari mereka yang mendengarnya. Saya merasa gembira sekali dapat mengucapkan selamat kepada Tuan Ketua atas pengangkatannya dalam jabatannya yang tinggi dan konstruktif.

Saya juga merasa gembira sekali untuk menyampaikan atas nama bangsa saya ucapkan selamat datang yang sangat mesra kepada keenambelas Anggota baru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kitab Suci Islam mengamanatkan sesuatu kepada kita pada saat ini. Qur'an berkata: "Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia diantara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu".

Dan juga Kitab Injil agama Nasrani beramanat pada kita. "Segala kemuliaan bagi Allah ditempat yang Mahatinggi, dan sejahtera diatas bumi diantara orang yang diperkenan-Nya". Saya sungguh-sungguh merasa sangat terharu melepaskan pandangan saya atas Majelis ini. Disinilah buktinya akan kebenaran perjuangan yang berjalan bergenerasi.

Disinilah buktinya, bahwa pengorbanan dan penderitaan telah mencapai tujuannya. Disinilah buktinya, bahwa keadilan mulai berlaku, dan bahwa beberapa kejahatan besar sudah dapat disingkirkan. Selanjutnya, sambil melepaskan pandangan saya kepada Majelis ini, hati saya diliputi dengan suatu kegirangan yang besar dan hebat. Dengan jelas tampak dimata saya menyingsingnya suatu hari yang baru, dan bahwa matahari kemerdekaan dan emansipasi, matahari yang sudah lama kita impikan, sudah terbit di Asia dan Afrika. Sekarang, hari ini, saja berbicara dihadapan para pemimpin bangsa-bangsa dan para pembangun bangsa-bangsa. Namun, secara tidak langsung, saya juga berbicara kepada mereka yang Tuan-tuan wakili, kepada mereka yang telah mengutus Tuan-tuan kemari, kepada mereka yang telah mempercayakan hari depan mereka ditangan Tuan-tuan.

Saya sangat menginginkan agar kata-kata saya akan bergema juga didalam hati mereka itu, didalam hati nurani ummat manusia, didalam hati besar yang telah mencetuskan demikian banyak teriakan kegembiraan, demikian banyak jeritan penderitaan dan putus-harapan, dan demikian banyak cinta-kasih dan tawa. Hari ini presiden Soekarno-lah yang berbicara dihadapan tuan-tuan. Namun lebih dari itu, ia adalah seorang manusia, Soekarno, seorang Indonesia, seorang suami, seorang Bapak, seorang anggauta keluarga ummat manusia. Saya berbicara kepada Tuan-tuan atas nama rakyat saya, mereka yang 92 juta banyaknya disuatu nusantara yang jauh dan luas, 92 juta jiwa yang telah mengalami hidup penuh dengan perjuangan dan pengorbanan, 92 juta jiwa yang telah membangun suatu Negara diatas reruntuhan suatu Imperium. Mereka itu, dan rakyat Asia dan Afrika, rakyat-rakyat benua Amerika dan benua Eropa serta rakyat benua Australia, sedang memperhatikan dan mendengarkan serta mengharap-harap.

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini bagi mereka merupakan suatu harapan akan masa-depan dan suatu kemungkinan-baik bagi zaman sekarang ini. Keputusan untuk menghadiri Sidang Majelis Umum ini bukanlah merupakan suatu keputusan yang mudah bagi saya. Bangsa saya sendiri menghadapi banyak masalah, sedangkan waktu untuk memecahkan masalah-masalah itu selalu sangat terbatas. Akan tetapi sidang ini mungkin merupakan sidang Majelis yang terpenting yang pernah dilangsungkan dan kita semuanya mempunyai suatu tanggung-jawab kepada dunia seluruhnya disamping kepada bangsa-bangsa kita masing-masing. Tak seorangpun diantara kita dapat menghindari tanggungjawab itu, dan pasti tak seorangpun ingin menghindarinya.

Saya sangat yakin bahwa pemimpin-pemimpin dari negara-negara yang lebih muda dan negara-negara yang lahir kembali dapat memberikan sumbangannya yang sangat positif untuk memecahkan demikian banyak masalah-masalah yang dihadapi Organisasi ini dan dunia pada umumnya. Memang, saya percaya bahwa orang akan mengatakan sekali lagi bahwa: "Dunia yang baru itu diminta untu memperbaiki keseimbangan dunia yang lama". Jelaslah bahwa pada dewasa ini segala masalah dunia kita saling berhubungan.

Kolonialisme mempunyai hubungan dengan keamanan; keamanan mempunyai hubungan dengan persoalan perdamaian dan perlucutan senjata; perlucutan senjata berhubungan dengan perkembangan secara damai dari negara-negara yang belum maju. Yah, segala itu saling bersangkut-paut. Jika kita pada akhirnya berhasil memecahkan satu masalah, maka terbukalah jalan untuk penyelesaian masalah-masalah lainnya. Jika kita berhasil memecahkan misalnya masalah perlucutan senjata, maka akan tersedialah dana-dana yang diperlukan untuk membantu bangsa-bangsa yang sangat memerlukan bantuan itu. Akan tetapi, yang sangat diperlukan ialah bahwa masalah-masalah semuanya itu harus dipecahkan dengan penggunaan prinsip-prinsip yang telah disetujui. Setiap usaha untuk memecahkannya dengan mempergunakan kekerasan, atau dengan ancaman kekerasan, atau dengan pemilikan kekuasaan, tentu akan gagal bahkan akan mengakibatkan masalah-masalah yang lebih buruk lagi.

Dengan singkat, prinsip yang harus diikuti ialah prinsip persamaan kedaulatan bagi semua bangsa, hal mana tentunya tidak lain dan tidak bukan, merupakan penggunaan hak-hak azasi manusia. dan hak-hak azasi nasional. Bagi semua bangsa-bangsa harus ada: satu dasar, dan semua bangsa harus menerima dasar itu, demi perlindungan dirinya dan demi keselamatan ummat manusia. Bila saya boleh mengatakannya, kami dari Indonesia menaruh perhatian yang khusus sekali atas Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami mempunyai keinginan yang sangat khusus agar Organisasi ini berkembang dan berhasil baik. Karena tindakan-tindakannya, perjuangan untuk kemerdekaan dan kehidupan nasional kami sendiri telah dipersingkat. Dengan berkepercayaan penuh saya mengatakan, bahwa perjuangan kami, bagaimanapun juga, akan berhasil baik, namun tindakan-tindakan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu telah mempersingkat perjuangan dan telah mencegah banyak pengorbanan dan penderitaan serta kehancuran, baik dipihak kami maupun dipihak lawan-lawan kami.

Apakah sebabnya saya percaya, bahwa perjuangan kami akan berhasil baik, dengan atau tanpa kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa? Saya yakin akan hal itu kerena dua sebab. Pertama, saya mengenal rakyat saya; saya mengetahui kehausan mereka yang tiada terhingga akan kemerdekaan nasional, dan saya mengetahui akan tekadnya. Kedua, saya yakin akan hal itu karena jalannya sejarah. Kita semua, dimanapun didunia ini, hidup di zaman pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperium-imperium, Inilah zaman bangkitnya bangsa-bangsa dan bergejolaknya nasionalisme. Menutup mata akan kenyataan ini adalah membuta terhadap sejarah, tidak mengindahkan takdir dan menolak kenyataan.

Sekali lagi saya katakan, kita hidup dizaman pembangunan bangsa-bangsa. Proses ini tidak dapat dielakkan dan merupakan sesuatu yang pasti; kadang-kadang lambat dan tidak dapat dielakkan, bagaikan lahar menurun lereng sebuah guning-api di Indonesia; kadang-kadang cepat dan tidak terelakkan, bagaikan dobrakan airbah dari balik sebuah bendungan yang dibangun tidak sempurna. Lambat dan tak terelakkan, atau cepat dan tak terelakkan, kemenangan perjuangan nasional adalah suatu kepastian. Bila perjalanan menuju kebebasan itu sudah selesai diseluruh dunia, maka dunia kita akan menjadi suatu tempat yang lebih baik; akan merupakan suatu tempat yang lebih bersih dan jauh lebih sehat. Kita tidak boleh berhenti berjuang pada saat ini, manakala kemenangan telah menampakkan diri, sebaliknya kita harus melipatgandakan usaha kita. Kita telah berjanji kepada masa-depan dan itu harus dipenuhi. Dalam hal ini kita tidak hanya berjuang untuk kepentingan kita sendiri, melainkan kita berjuang untuk kepentingan ummat menusia seluruhnya, ya, perjuangan kita bahkan untuk kepentingan mereka yang kita tentang. Lima tahun yang lalu, dua puluh sembilan bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah mengirimkan utusannya kekota Bandung Indonesia. Dua puluh sembilan bangsa Asia dan Afrika.

Kini, berapakah jumlah bangsa yang merdeka disana? Saya tidak akan menghitungnya, tetapi silahkan melihat disekeliling Majelis ini sekarang! Dan katakanlah apakah saya benar, bila saya berkata bahwa kinilah saatnya pembangunan bangsa, dan saat bangkitnya bangsa-bangsa. Kemarin Asia, dan itu merupakan suatu proses yang belum selesai. Kini Afrika, itupun merupakan suatu proses ya, belum selesai. Lagi pula, belum semua bangsa-bangsa Asia dan Afrika diwakili disini.

Organisasi bangsa-bangsa ini telah dilemahkan selama masih menolak perwakilan satu bangsa, dan teristimewa suatu bangsa yang tua dan bijaksana serta kuat. Saya maksudkan Tiongkok. Saya maksudkan yang sering disebut Tiongkok Komunis, yang bagi kami adalah satu-satunya Tiongkok yang sebenarnya. Organisasi bangsa-bangsa ini sangat dilemahkan justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yan terbesar didunia. Setiap tahun kami menyokong diterimanya Tiongkok kedalam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai anggota. Kami akan terus melakukannya. Kami tidak memberikan sokongan itu semata mata karena kami mempunyai hubungan baik dengan negara tersebut. Dan pasti sokongan itu tidak kami berikan karena sesuatu alasan partisan. Tidak, pendirian kami mengenai persoalan ini di bimbing oleh realisme politik.

Dengan secara picik mengecualikan suatu bangsa yang besar, bangsa agung dan kuat dalam arti kuantitet, kebudayaan, ciri-ciri suatu peradaban kuno, suatu bangsa yang penuh dengan kekuatan dan daya ekonomi, dengan mengecualikan bangsa itu kita lebih melemahkan Organisasi internasional ini, dan dengan demikian, lebih menjauhkannya dari kebutuhan dan cita-cita kita. Kita bertekad untuk menjadikan Perserikatan Bangsa-Bangsa kuat dan universil serta mampu untuk memenuhi fungsinya yang layak. Itulah sebabnya mengapa kami senantiasa memberikan sokongann atas ikut-sertanya Tiongkok dalam lingkungan kita. Lagi pula, perlucutan senjata merupakan suatu keperluan yang mendesak dalam dunia ini.

Persoalan yang terpenting ini dari semua masalah harus dirundingkan dan dipecahkan dalam rangka Organisasi ini. Namun bagaimana dapat tercapai suatu perlucutan realistis mengenai perlucutan senjata, bila Tiongkok yang merupakan salah satu negara terkuat dalam dunia ini, tidak diturut sertakan dalam musyawarah-musyawarah itu? Diwakilinya Tiongkok dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengikut sertakan negara itu dalam masalah dunia yang konstruktif dan dengan demikian akan betul-betul memperkuat lembaga ini.

Ditahun sembilan belas enam puluh ini, Majelis Umum kembali berkumpul dalam sidang tahunannya. Namum Majelis Umum ini janganlah hanya dianggap sebagi suatu sidang routine lainnya, dan bila dianggap demikian, bila dianggap sebagai suatu sidang routine, maka kemungkinan besar Organisasi internasional seluruhnya iri akan terancam dengan kehancuran. Camkanlah kata-kata saya, itulah permohonan saya! Janganlah memperlakukan masalah-masalah yang akan Tuan-tuan perbincangkan sebagai masalah routine. Bila diperlakukan demikian, Organisasi ini yang telah memberikan kita suatu harapan untuk masa-depan, suatu kemungkinan-baik akan adanya persesuaian internasional, mungkin akan pecah. Ia mungkin akan lenyap perlahan-lahan dibawah gelombang pertikaian, sebagimana dialami oleh organisasi yang digantikannya. Bila hal ini terjadi, maka ummat manusia sebagai keseluruhan akan menderita, dan suatu impian yang agung, suatu cita-cita yang agung, akan hancur. Ingatlat bukanlah hanya kata-kata yang Tuan-tuan hadapi. bukanlah pion-pion diatas papan catur yang Tuan-tuan hadapi.

Yang Tuan-tuan hadapi adalah manusia, impian-impian manusia, cita-cita manusia dan hari-depan semua manusia. Dengan segala kesungguhan, saya katakan: kami bangsa bangsa yang baru merdeka bermaksud berjuang untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami bermaksud memperjuangkan suksesnya dan menjadikannya effektif. Badan itu dapat dijadikan effektif, dan akan dijadikan effektif, hanya bila anggota-anggota seluruhnya mengakui tiada terelakkannya jalan sejarah. Badan itu hanya dapat menjadi effektif, bila badan tersebut mengikuti jalannya sejarah, dan tidak mencoba untuk membendung atau mengalihkan ataupun menghambat jalannya itu. Telah saya katakan, bahwa inilah saat pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperium-imperium. Itulah kebenaran yang sesungguhnya. Berapa banyaknya bangsa-bangsa yang telah memperoleh kemerdekaannya sejak terciptanya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa? Berapa banyak bangsa-bangsa telah melemparkan rantai penindasan yang membelenggunya? Berapa banyaknya imperium-imperium yang dibangun atas penindasan manusia telah hacur-lebur? Kami yang tadinya tiada bersuara, tidak membisu lagi. Kami yang tadinya membisu dialam kesengsaraan imperalisme tidak membisu lagi.

Kami yang perjuangan hidupnya tertutup dibawah selubung kolonialisme, tidak tersembunyikan lagi. Sejak hari bersejarah ditahun Sembilanbelas Empatpulut Lima dunia telah berobah, dan dia telah berobah kearah perbaikan. Dari zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul kemungkinan --ya, keharusan-- akan suatu dunia yang bebas dari ketakutan, bebas dari kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan nasional. Kini, saat ini juga, di Majelis Umum ini, kita dapat mempersiapkan diri untuk menempatkan diri kita didunia masa-depan itu, dunia yang telah kita pikirkan dan impikan serta bayangkan. Hal itu dapat kita lakukan, tetapi hanya bila kita tidak memperlakukan sidang ini sebagai suatu sidang routine. Kita harus mengakui, bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa menghadapai suatu penimbunan masalah-masalah, masing-masing mendesak, masing-masing mengandung kemungkinan ancaman terhadap perdamaian dan kamajuan secara damai. Kita bertekad, bahwa nasib dunia, dunia kita, tidak akan ditentukan tanpa kita. Nasib itu akan ditentukan dengan keikut-serta dan kerjasama kita. Keputusan-keputusan yang penting bagi perdamaian dan masa-depan dunia dapat ditentukan disini den sekarang ini juga.

Disini berkumpul Kepala-Kepala Negara dan Kepala-Kepala Pemerintah. Itulah rangka Organisasi kita. Saya sangat mengharapkan agar soal-soal protokol yang kaku serta perasaan sakit hati yang picik, - perasaaan-perasaan perorangan maupun nasional, - tidak akan menghalangi dipergunakannya kesempatan itu sebaik-baiknya. Kesempatan seperti ini tak akan sering ada. Hal itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. Kita pada saat ini mempunyai kesempatan unik untuk menggabungkan diplomasi perseorangan dengan diplomasi umum. Marilah kita pergunakan kesempatan itu. Kesempatan tak akan kembali lagi! Saya menyadari sedalam-dalamnya bahwa hadirnya demikian banyak Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, memenuhi harapan berjuta-juta orang.

Mereka itu dapat mengambil keputusan-keputusan yang vital untuk menentukan wajah baru bagi dunia kita ini dan dengan sendirinya juga wajah baru bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Layaklah pada saat ini untuk mempertimbangkan kedudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hubungan dengan zaman pembangunan dan bangkitnya bangsa-bangsa hari ini. Ini saya kemukakan: bagi suatu bangsa yang baru lahir atau suatu bangsa yang baru lahir-kembali milik yang paling berharga adalah kemerdekaan dan kedaulatan. Mungkin - saya tidak tahu, tapi mungkin - bahwa rasa untuk memegang teguh permata kedaulatan dan kemerdekaan yang berharga ini, hanya terdapat dilingkungan bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali. Mungkin setelah berlalunya beberapa generasi perasaan kebanggaan dan tercapainya cita-cita itu menjadi pudar. Mungkin demikian, tetapi saya rasa tidak. Bahkan sekarang ini, duaratus tahun kemudian, adalah seorang Arnerika yang tidak tergetar jiwanya mendengarkan kata-kata Declaration of Independence? Adalah seorang Italia yang kini tidak menyambut penggilan Mazzini? Adalah seorang warga Amerika Latin yang tidak lagi mendengar gemahnya suara San Martin?

Benar, adakah seorang warga dunia yang tidak menyambut panggilan dan suara-suarai tu? Kita semua tergetar, kita semua menyambut, karena suara-suara itu adalah universil, baik mengengenai waktu maupun tempatnya. Suara-suara itu adalah suara ummat manusia yang menderita, suara masa depan, dan kita masih mendengarnya sepanjang jaman. Tidak, saya yakin, seyakin-yakinnya bahwa didalam kedaulatan dan kemerdekaan nasional ada sesuatu yang kekal, sesuatu yang sekeras dan secerlang permata, dan jauh lebih berharga. Banyak bangsa-bangsa didunia ini telah lama memiliki permata ini.

Mereka telah biasa memilikinya, tetapi saya yakin, bahwa mereka masih tetap menganggapnya yang paling dicintai diantara milik-miliknya, dan mereka akan lebih baik mati daripada melepaskannya. Bukankah begitu? Apakah bangsa saudara sendiri akan pernah bersedia melepaskan kemerdekaannya? Setiap bangsa yang patut dinamakan bangsa akan memilih mati! Setiap pemimpinya yang patut disebut pemimpin dari bangsa manapun, juga akan memilih mati! Betapa lebih berharga hal itu bagi kami, yang pernah suatu waktu memiliki permata kemerdekaan dan kedaulatan nasional itu, dan kemudian merasakan dirampasnya dari tangan kami oleh bandit-bandit yang bersenjata lengkap, dan yang kini telah kami rebut kembali! Perserikatan Bangsa-bangsa ini adalah suatu organisasi dari Negara-Negara Bangsa yang masing-masing menggenggam permata itu kuat-kuat sebagai sesuatu yang berharga. Kita semuanya telah berhimpun dengan sukarela, sebagai saudara dan sederajat dalam Organisasi ini.


Sebagai suadara dan sederajat, karena kita semua memiliki kedaulatan yang sederajat dan kita semua menganggap kedaulatan yang sederajat itu sama-sama berharga. Ini adalah suatu badan international. Badan ini belumlah super-nasional ataupun supra-nasional. Badan ini merupakan suatu organisasi Negara-Negara Bangsa, dan hanya dapat bekerja sepanjang Negara-Negara Bangsa menghendakinya. Apakah kita semuanya dengan suara bulat telah menyetujui untuk menyerahkan suatu bagian dari kedaulatan kita kepada badan ini? Tidak, tidak pernah. Kita telah menerima baik Piagam dan Piagam itu telah ditandatangani oleh Negara-Negara Bangsa yang berdaulat penuh dan sederajat penuh. Ada kemungkinan, bahwa badan ini harus mempertimbangkan, apakah anggauta-anggautanya harus menyerahkan sesuatu bagian dari kedaulatan mereka kepada badan internasional ini. Tetapi jika keputusan yang semacam itu diambil, keputusan itu harus diambil secara bebas, dan dengan suara bulat, dan sederajat. Harus diuputuskan sederajat oleh semua bangsa, yang kuno dan yang baru, bangsa yang baru muncul dan yang sudah lama maju dan yang belum maju. Hal ini bukannya sesuatu yang dapat dipaksakan pada bangsa manapun juga.

Selanjutnya, dasar satu-satunya yang mungkin bagi badan semacam itu ialah persamaan yang sejati. Kedaulatan dari bangsa yang paling baru atau bangsa yang paling kecil sama berharganya, sama tidak dapat dilanggarnya, seperti kedaulatan bangsa yang paling besar atau bangsa yang paling tua. Dan selain daripada itu, sesuatu pelanggaran terhadap kedaulatan sesuatu bangsa merupakan suatu ancaman potensiil terhadap kedulatan semua bangsa. Dalam gambaran dunia inilah, kita harus melihat dunia sekarang ini. Dunia kita yang satu ini terdiri dari Negara-Negara Bangsa, masing-masing sama berdaulat dan masing-masing berketetapan hati menjaga kedaulatan itu, dan masing-masing berhak untuk menjaga kedaulatan itu. Dan sekali lagi saya katakan - dan saya ulang ini karena merupakan dasar dari pengertian terhadap dunia dewasa ini - kita hidup dalam zaman pembangunan bangsa.

Kenyataan ini jauh lebih penting daripada adanya senjata-senjata nuklir, lebih eksplosif daripada bom-bom hidrogin, dan mempunyai harga potensil yang lebih besar untuk dunia daripada pemecahan atom. Keseimbangan dunia telah berobah sejak hari itu dalam bulan Juni, limabelas tahun yang lalu, ketika Piagam ditandatangani dikota San Franciscco di Amerika, pada saat manusia sedang bangkit kembali dari neraka peperangan. Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat. Juga kami, bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebil kecil, kamipun berhak bersuara dan suara itu pasti akan berkumandang disepanjang jaman. Yah, kami insyaf akan pertangungan jawab kami terhadap masa-depan semua bangsa, dan kami dengan gembira menerima pertanggung-jawab itu. Bangsa saya berjanji pada diri sendiri untul bekerja mencapai suatu dunia yang lebih baik, suatu dunia yang bebas dari sengketa dan ketegangan, suatu dunia dimana anak-anak dapat tumbuh dengan bangga dan bebas, suatu dunia dimana keadilan dan kesejahteraan berlaku untuk semua orang. Adakah sesuatu bangsa akan menolak janji semacam itu? Beberapa bulan yang lalu, sesaat sebelum pemimpin-pemimpin Negara-Negara Besar bertemu sesingkat itu di Paris, tuan Khrushchov menjadi tamu kami di Indonesia. Saya jelaskan padanya sejelas-jelasnya, bahwa kami menyambut baik Konperensi Tingkat Tertinggi, yang kami harapkan berhasil, tetapi bahwa kami skeptis.

Empat Negara Besar itu saja, tidak dapat menentukan masalah perang dan damai. Lebih tepat, barangkali, mereka mempunyai kekuatan untuk merusak perdamaian, tetapi mereka tidak mempunyai hak moril, baik secara sendirian maupun bersama-sama, untuk mencoba menentukan hari-depan dunia. Selama lima belas tahun ini Barat telah mengenal perdamaian, atau sekurang-kurangnnya ketiadaan perang. Tentu saja, ada ketegangan-ketegangan. Memang, ada bahaya. Tetapi tetap merupakan kenyataan, bahwa ditengah-tengah suatu revolusi yang meliputi tiga perempat dari dunia, Barat tetap dalam keadaan damai. Kedua blok besar, sebetulnya, telah berhasil mempraktekkan koeksistensi selama bertahun-tahun itu, sehingga dengan demikian membantah mereka yang menyangkal kemungkinan adanya koeksistensi. Kami di Asia tidak pernah mengenal keadaan damai!

Setela perdamaian datang untuk Eropah, kami merasai akibat bom-bom atom. Kami merasai revolusi nasional kami sendiri di Indonesia. Kami merasai penyiksaan Vietnam. Kami menderita penganiayaan Korea. Kami masih senantiasa menderita kepedihan Aljazair. Apa sekarang ini seharusnya giliran Saudara-saudara kita di Afrika? Apakah mereka harus disiksa, sedang luka-luka kami masih belum sembuh? Toh masih saja Barat dalam keadaan damai. Herankah Tuan-tuan bahwa kami sekarang menuntut, ya, menuntut batalnya siksaan terhadap kami? Herankah Tuan-tuan, bahwa kini suara saya diperdengarkan sebagai protes? Kami, yang dulu tidak bersuara, mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan; kami berhak untuk didengar.

Kami bukannya barang perdagangan, tetapi adalah bangsa-bangsa yang hidup dan yang perkasa, yang mempunyai peranan didunia ini, dan yang harus memberikan sumbangannya. Saya pergunakan kata-kata yang keras, dan saya pergunakan kata-kata itu dengan sengaja, karena saya punya pendirian yang tegas mengenai soal itu. Dengan sengaja saya pergunakan kata-kata keras, karena saya bicara untuk bangsa saya dan karena saya bicara di muka pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa. Selain dari pada itu, saya tahu bahwa Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika mempunyai pendirian yang sama tegasnya, walaupun saya tidak berani berbicara atas nama mereka. Majelis Umum ini tentunya akan menghadapi banyak hal-hal yang penting.

Tetapi tidaklah ada hal yang lebih penting dari pada perdamaian. Mengenai ini, saya pada saat ini tidak membicarakan soal-soal yang timbul antara Negara-Negara Besar didunia. Soal-soal demikian itu sangat vital bagi kami, dan saya nanti kembali pada soal-soal tersebut. Tapi tengoklah sekeliling dunia kita ini. Dibanyak tempat terdapat ketegangan-ketegangan dan sumber-sumber sengketa potensiil.

Perhatikanlah tempat-tempat itu dan tuan akan jumpai, bahwa hampir tanpa perkecualian, imperialisme dan kolonialisme didalam salah satu dari banyak manifestasinya adalah sumber ketegangan atau sengketa itu. Imperialisme dan kolonialisme dan pemisahan terus-menerus secara paksa dari bangsa-bangsa merupakan sumber dari hampir semua kejahatan internasional yang mengacam didunia kita ini. Sebelum kejahatan-kejahatan dari masa-lampau yang terkutuk itu diakhiri, tidak akan ada ketenangan atau perdamaian diseluruh dunia ini. Imperialisme, dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang besar didunia kita ini.

Banyak diantara Tuan-tuan dalam Sidang ini tidak pernah mengenal imperialisme. Banyak diantara Tuan-tuan lahir merdeka dan akan mati merdeka. Beberapa diantara Tuan-tuan lahir dari bangsa-bangsa yang telah menjalankan imperialisme terhadap yang lain, tetapi tidak pernah menderitanya sendiri. Akan tetapi Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika telah mengenal cambuk imperialisme. Mereka telah menderitanya. Mereka mengenal bahayanya dan kelicikannya serta keuletannya. Kami di Indonesia mengenalnya juga. Kami adalah ahli-ahli dalam soal ini!

Berdasarkan pengetahuan itu dan berdasarkan pengalaman itu, saya katakan pada Tuan-tuan bahwa berlanjutnya imperialisme dalam setiap bentuknya merupakan suatu bahaya yang besar dan yang berlarut-larut. Imperialisme belum lagi mati. Ya, sedang dalam keadaan sekarat; ya, arus sejarah sedang melanda bentengnya dan menggerogoti pondamen-pondamennya; ya, kemenangan kemerdekaan dan nasionalisme sudah pasti. Akan tetapi - dan camkanlah perkataan saya ini - imperialisme yang sedang sekarat itu berbahaya, sama berbahayanya dengan seekor harimau yang luka didalam rimba raya tropik. Ini saya tegaskan pada Tuan-tuan --dan saya sadar bahwa sekarang berbicara untuk Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika-- perjuangan untuk kemerdekaan senantiasa dibenarkan dan benar. Mereka yang menentang gerakmaju yang tidak terelakan dari kemerdekaan nasional dan hak menentukan nasib sendiri, adalah buta; mereka yang berusaha untuk mengembalikan apa yang tidak dapat dikembalikan merupakan bahaya bagi mereka sendiri dan bagi dunia. Sebelum kenyataan-kenyataan ini - dan ini memang kenyataan-kenyataan - diakui, tidak akan ada perdamaian dunia ini, dan tidak akan lenyaplah ketegangan.

Saya serukan kepada Tuan-tuan: tempatkanlah kewibawaan dan kekuatan moril dari Organisasi Negara-Negara ini dibelakang mereka yang berjuang untuk kemerdekaan. Lakukanlah itu secara jelas dan tegas. Lakukanlah itu sekarang! Lakukanlah, dan Tuan-tuan akan memperoleh dukungan bulat dan tulus ikhlas dari semua orang yang berkemauan baik. Lakukanlah sekarang, dan generasi-generasi yang akan datang akan menghargai Tuan-tuan.

Saya serukan kepada Tuan-tuan, kepada semua anggauta Perserikatan Bangsa-Bangsa : Bergeraklah bersama arusnya sejarah; janganlah mencoba membendung arus itu. Perserikatan Bangsa-bangsa sekarang ini juga berkesempatan untuk membangun bagi dirinya sendiri reputasi dan gengsi yang besar. Mereka yang berjuang untuk kemerdekaan akan mencari sokongan dan sekutu-sekutu dimana saja dapat diperolehnya; alangkah baiknya bilamana mereka berpaling kepada badan ini dan kepada Piagam kita daripada kepada sesuatu kelompok atau bagian dari badan ini. Lenyapkanlah sebab-sebab peperangan, dan kita akan merasa damai. Lenyapkanlah sebab-sebab ketegangan dan kita akan merasa tenang. Jangan ditunda-tunda. Waktunya singkat.

Bahayanya besar. Umat manusia diseluruh dunia berteriak minta perdamaian dan ketenangan, dan hal-hal itu adalah dalam kekuasaan kita. Jangan mencegahnya, karena nanti badan ini akan dicemarkan namanya dan ditinggalkan. Tugas kita bukannya untuk mempertahankan dunia ini, akan tetapi untuk membangun dunia kembali! Hari depan - andai-kata ada hari depan - akan menilai kita berdasarkan berhasilnya tugas kita ini. Saya minta kepada bangsa-bangsa yang sudah lama berdiri, janganlah menganggap remeh kekuatan nasionalisme. Jika tuan menyangsikan kekuatannya, tengoklah disekitar Majelis ini dan bandingkanlah dengan San Francisco lima belas tahun yang lalu. Nasionalisme, nasionalisme yang mencapai kemenangan dengan gemilang, telah menyebabkan perobahan ini, dan ini adalah baik.

Dewasa ini dunia diperkaya dan dimuliakan oleh kebijaksanaan dari para pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa berdaulat yang baru dibentuk. Untuk menyebut enam dari banyak contoh-contoh, yakni seorang Norodom Sihanouk, seorang Nasser, seorang Nehru, seorang Sekao Toure, seorang Mao Tse Tung dan seorang Nkrumah. Bukankah dunia menjadi lebih baik, jika mereka berada disini daripada mereka mempergunakan seluruh hidupnya dan seluruh kekuatannya untuk menggulingkan imperialisme yang membelenggu mereka? Dan bangsa-bangsa merekapun sudah merdeka, dan bangsa saya merdeka, dan lebih banyak lagi bangsa yang merdeka.

Bukankah dengan demikian dunia menjadi suatu tempat yang lebih baik dan lebih kaya? Memang, saya tidak perlu membentangkan kepada Tuan-tuan, bahwa kami dari Asia dan Afrika menentang kolonialisme dan imperialisme. Lebih daripada itu, siapakah dalam dunia sekarang ini masih akan membela hal-hal itu? Secara universil hal-hal itu telah dikutuk, dan sudah sepantasnya, dan alasan-alasan sinis yang usang itu tidak terdengar lagi. Pertentangan sekarang berpusat pada persoalan kapankah daerah-daerah jajahan akan merdeka, dan bukan pada persoalan apakah mereka akan merdeka.

Tetapi saya hendak menegaskan soal ini. Oposisi kami terhadap kolonialisme dan imperialisme timbul baik dari hati maupun dari kepala kami. Kami menentangnya atas dasar kemanusiaan, dan kami menentangnya pula dengan alasan bahwa hal ini merupakan suatu ancaman yang besar dan makin besar lagi terhadap perdamaian. Tiadanya persesuaian pendapat dengan kekuatan-kekuatan kolonial berkisar pada soal-soal waktu dan keamanan, karena sekarang setidak-tidaknya mereka beromong-kosong tentang cita-cita kemerdekaan nasional. Oleh karena itu renungkanlah dalam-dalam mengenai nasionalisme dan kemerdekaan, mengenai patriotisme dan mengenai imperialisme. Renungkanlah dalam-dalam, demikian permohonan saya, jangan sampai arus sejarah melanda Tuan-tuan. Dewasa ini, kita banyak mendengar dan membaca mengenai perlucutan senjata.

Perkataan itu biasanya dipakai dalam hubungan perlucutan senjata nuklir dan atom. Maafkanlah saya. Saya seorang sederhana dan seorang yang cinta damai. Saya tidak dapat bicara mengenai detail-detail perlucutan senjata. Saya tidak dapat memberikan penilaian mengenai pendapat-pendapat yang bersaing tentang pengawasan, mengen�i percobaan-percobaan dibawah tanah dan mengenai catatan-catatan seismografik. Mengenai persoalan-persoalan imperialisme dan nasionalisme saya seorang ahli, sesudah seumur hidup mempelajarinya dan berjuang, dan mengenai soal-soal ini saya bicara dengan kewibawaan. Tetapi mengenai persoalan-persoalan peperangan nuklir, saya hanya seorang biasa saja, mungkin seperti tetangga tuan atau seperti saudara tuan atau bahkan seperti ayah tuan. Saya ikut merasakan kengerian mereka, saya ikut merasakan ketakutan mereka. Saya ikut merasakan kengerian dan ketakutan, itu karena saya adalah bagian dari dunia ini. Saya punya anak-anak, dan hari depan mereka terancam bahaya.

Saya seorang Indonesia, dan bangsa itu terancam bahaya. Mereka yang mempergunakan senjata penghancur masal itu sekarang harus menghadapi hati nurani mereka sendiri, dan akhirnya, mungkin dalam keadaan hangus menjadi debu radio aktif, mereka harus menghadapi Al Khaliknya. Saya tidak iri terhadap mereka. Mereka yang mempersoalkan perlucutan senjata nuklir jangan lupa bahwa kami, yang dalam hal ini sebelumnya tidak dapat bersuara, sedang memperhatikan dan mengharap-harap. Kami sedang memperhatikan dan mengharap-harap, toh kami diliputi oleh kecemasan, karena jika perang nuklir menghancurkan dunia kita ini, kami juga ikut menderita. Tidak seorang mahlukpun berhak untuk menggunakan hak hak prerogatif dari Tuhan Yang Maha Esa Kuasa. Tidak seorangpun berhak mempergunakan bom-bom hidrogin. Tidak satu bangsapun berhak untuk menyebabkan kemungkinan hancurnya semua bangsa-bangsa. Tiada suatu sistim politik, tiada suatu organisasi ekonomi yang layak untuk menyebabkan musnahnya dunia, termasuk sistem maupun organisasi itu sendiri.

Jika hanya negara-negara yang bersenjata hidrogin yang tersangkut dalam persoalan ini, maka kami bangsa-bangsa Asia dan Afrika tidak akan menghiraukannya. Kami hanya akan melihat saja sambil menjauhkan diri, dengan perasaan heran mengapa negara-negara, darimana kami belajar sedemikian banyaknya itu, serta yang sangat kami kagumi itu, pada dewasa ini harus tenggelam dalam rawa immoralitet.

Kami akan dapat berseru: "Terkutuklah kalian!", dan kami akan dapat kembali ke dalam dunia kami sendiri yang lebih berimbang dan damai. Tetapi kami tak dapat, berbuat demikian. Kami bangsa Asia telah menderita akibat bom atom. Kami bangsa Asia terancam lagi, dan selain itu kami merasa sebagai suatu kewajiban moral untuk memberikan bantuan dimana mungkin. Kami bukanlah musuh Timur maupun Barat. Kami merupakan suatu bagian dari dunia ini dan kami ingin membantu. Ini adalah suatu jeritan dari hati-sanubari Asia. Biarkanlah kami membantu memecahkan masalah-masalah ini. Mungkin Tuan-tuan memperhatikannya terlampau lama, dan tak lagi melihatnya secara jelas. Biarkanlah kami membantu Tuan-tuan, dan dalam membantu Tuan-tuan, kami bantu diri kami sendiri, dan semua generasi yang akan datang diseluruh dunia. Jelaslah, bahwa masalah perlucutan senjata bukan hanya perselisihan pendapat tentang dasar-dasar teknis yang sempit.

Ini adalah pula persoalan saling mempercayai. Sebetulnya telah jelas, bahwa dalam bidang teknik dan dalam cara-cara berunding dan berdiplomasi, sesungguhnya antara kami dari Asia-Afrika dan kedua blok itu tidaklah banyak berbeda. Soalnya sebenarnya lebih merupakan soal saling tidak mempercayai. Ini adalah suatu masalah yang dapat dipecahkan dengan cara-cara itu. Negara-negara lain yang tidak tergabung dalam suatu blok, bisa memberi bantuan dalam hal ini! Kami tidak kurang pengalaman dan kepandaian untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan. Mungkin perantaraan kami dapat juga berharga. Mungkin kami dapat pula memberikan bantuan dalam mencari suatu penjelesaian. Mungkin - siapa tahu - kami dapat memperlihatkan kepada Tuan-tuan jalannya menuju kearah satu-satunya perlucutan senjata yang sesungguhnya, yaitu perlucutan senjata di dalam hati manusia, perlucutan ketidak percayaan dan kebencian manusia.

Tidak sesuatupun lebih mendesak daripada hal ini. Dan persoalan ini adalah demikian vital bagi seluruh umat manusia, sehingga seluruh ummat manusia harus dikut sertakan dalam pemecahannya. Saya kira pada saat ini kita boleh berkata, bahwa sebenarnya hanyalah desakan dan usaha dari negara-negara non blok akan memberikan hasil yang diperlukan seluruh dunia. Pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang perlucutan senjata, di dalam rangka organisasi ini, dan didasarkan pada suatu harapan yang sungguh-sungguh akan suksesnya, adalah. yang essensiil sekarang ini. Saya tekankan "dalam rangka organisasi ini", karena hanya Majelis inilah yang mulai mendekati suatu cerminan yang sebenarnya dari dunia dimana kita hidup.

Renungkan, renungkan sejenak, apa yang mungkin terjadi jika kita dapat meletakkan suatu dasar bagi perlucutan senjata yang sejati. Ingatlah akan dana-dana yang sangat besar yang dapat digunakan untuk perbaikan dunia dimana kita hidup ini. Ingatlah akan daya gerak yang maha hebat yang dapat diberikan kepada perkembangan mereka yang kurang maju, sekalipun hanya sebagian saja dari anggaran belanja pertahanan dari Negara-Negara Besar disalurkan kearah itu. Ingatlah akan bertambahnya secara hebat kebahagiaan manusia, produktivitet manusia dan kesejahteraan manusia jika hal itu diselenggarakan.

Perlu saya tambahkan sesuatu lagi pada hal ini. Jika ada suatu immoralitet yang lebih besar daripada memperagakan senjata-senjata hidrogen, maka hal itu adalah melakukan percobaan-percobaan dengan senjata-senjata tersebut. Saya tahu bahwa ada suatu perbedaan pendapat ilmiah tentang akibat genetik daripada percobaan-percobaan itu. Akan tetapi perbedaan ini hanya mengenai jumlah korban-korban. Tentang adanya akibat genetik yang buruk terdapat persesuaian pendapat. Pernakah mereka yang mengesahkan percobaan-percobaan itu membayangkan akibat-akibat perbuatan mereka? Pernakah mereka melihat kepada anak-anak mereka sendiri dan merenungkan akibat-akibat itu?

Pada dewasa ini percobaan-percobaan dengan senjata-senjata nuklir ditangguhkan, - perhatikan tidak dilarang, tetapi hanya ditangguhkan. Maka, marilah kita pergunakan kenyataan ini sebagai permulaan. Marilah kita pergunakan kenyataan ini sebagai dasar untuk melarang percobaan, dan kemudian untuk pelucutan senjata yang sungguh-sungguh. Sebelum meninggalkan persoalan perlucutan senjata, saya hendak memberikan suatu ulasan lagi. Berbicara tentang perlucutan senjata memang baik. Tetapi berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun suatu persetujuan perlucutan senjata akan lebih baik. Dan yang terbaik adalah pelaksanaan daripada persetujuan perlucutan senjata itu. Akan tetapi marilah kita realistis. Bahkan pelaksanaan dari pada suatu persetujuan perlucutan senjatapun tidak akan merupakan jaminan bagi perdamaian didunia yang dalam kesengsaraan dan kesukaran. Perdamaian hanya akan datang, jika sebab-sebab ketegangan dan bentrokan disingkirkan. Jika ada suatu sebab untuk bentrokan, maka manusia akan berjuang dengan bambu runcing, jika tidak terdapat senjata lain.

Saya tahu oleh karena bangsa saya sendiri melakukannya dalam perjuangan kami untuk kemerdekaan. Kami telah berjuang dengan menggunakan pisau dan bambu runcing. Untuk mencapai perdamaian, kita harus menyingkirkan sebab-sebab ketegangan dan sebab-sebab bentrokan itu. Itulah sebabnya saya berbicara dari lubuk hati saya mengenai perlunya bekerja sama untuk menyebabkan matinya yang hina dari imperialisme. Dimana terdapat imperialisme, dan dimana terdapat penyusunan kekuatan bersenjata yang serentak, maka keadaan memang berbahaya, Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman. Begitulah keadaannya di Irian Barat. Begitulah keadaannya diseperlima wilayah nasional kami yang pada dewasa ini masih tetap membungkuk di bawah belenggu imperialisme. Disanalah kami menghadapi imperialisme dan kekuatan bersenjata dari imperialisme. Diperbatasan daerah itu tentara kami berbicara di darat maupun di lautan. Kedua kekuatan bersenjata itu saling berhadapan, dan dapat saya katakan bahwa hal itu merupakan suatu keadaan yang eksplosif. Belum lama berselang tentara di Irian Barat yang masih muda serta tersesat itu dan yang membela suatu faham yang telah ketinggalan zaman, diperkuat dengan datangnya kapal induk Karel Doorman dari tanah airnya yang jauh itu. Maka saatitulah keadaan menjadi betul-betul berbahaya.

Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia duduk dalam delegasi saya ini: Namanya Jenderal Nasution. Ia adalah prajurit profesional dan seorang perajurit yang ulung. Seperti halnya dengan anak buah yang dipimpinnya, dan seperti juga halnya dengan bangsa yang dibelanya, ia pertama-tama adalah seorang yang cinta damai. Tetapi lebih daripada itu, ia dan anak buahnya serta bangsa saya mengabdi untuk mempertahankan tanah air kami. Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral. Kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan bertahun-tahun. Kami telah berusaha dan tetap berusaha. Kami telah berusaha menggunakan alat-alat Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Kekuatan pendapat dunia yang dinyatakan disini. Kami telah berusaha dan dalam hal inipun kami tetap berusaha. Harapan lenyap; kesabaran hilang; bahkan toleransipun mencapai batasnya.

Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya kecuali memperkeras sikap kami. Jika mereka gagal untuk secara tepat menilai arus sejarah, maka kita tidaklah dapat dipersalahkan. Akan tetapi akibat dari pada kegagalan mereka ialah timbulnya ancaman terhadap perdamaian dan, sekali lagi, hal ini menyangkut pula Perserikatan Bangsa-Bangsa. Irian Barat merupakan pedang kolonial yang diancamkan terhadap Indonesia. Pedang ini diarahkan pada jantung kami, akan tetapi disamping itu mengancam pula perdamaian dunia. Usaha-usaha kami dewasa ini yang sungguh-sungguh untuk mencapai penyelesaian dengan cara-cara kami sendiri, adalah bagian dari sumbangan kami kearah terjaminnya perdamaian dunia ini. Ini adalah bagian dari usaha kami untuk mengakhiri masalah dunia ini yang merupakan kejahatan yang usang. Usaha kami adalah usaha pembedahan yang sungguh-sungguh untuk menyingkirkan kanker imperialisme dari daerah di dunia, dimana kami hidup dan berada. Saya katakan dengan segala kesungguhan bahwa keadaan di Irian Barat adalah keadaan yang berbahaya, suatu keadaan yang eksplosif, suatu hal yang merupakan sebab ketegangan dan suatu ancaman bagi perdamaian. Jenderal Nasution tidak bertanggung-jawab atas hal itu.

Tentara kami tidak bertanggung jawab atas hal itu. Sukarno tidak bertanggung jawab atas hal itu. Indonesia tidak bertanggung jawab atas hal itu. Tidak! Ancaman terhadap perdamaian berasal langsung dari adanya imperialisme dan kolonialisrne itulah. Singkirkan pengekangan terhadap kemerdekaan dan emansipasi, dan ancaman terhadap perdamaian akan lenyap. Tumbangkan imperialisme, dun segera dengan sendirinya dunia akan menjadi suatu tempat yang lebih bersih, suatu tempat yang lebih baik dari suatu tempat yang lebih aman. Saya tahu bahwa jika saya kemukakan hal ini, banyak pikiran akan beralih kepada keadaan di Konggo. Tuan-tuan mungkin bertanya, bukankah imperialisme telah diusir dari Konggo dengan akibat bahwa didaerah itu sekarang terjadi persengketaan dan pertumpahan darah?

Tidak demikian halnya! Keadaan di Konggo yang sangat disesalkan adalah langsung disebabkan oleh imperialisme, dan tidak disebabkan oleh berakhirnya imperialisme itu. Imperialisme berusaha untuk mempertahankan kedudukannya di Konggo; berusaha untuk dapat memutungkan dan melumpuhkan Negara baru itu. Itulah sebabnya Konggo berkobar. Ya, di Konggo, terdapat penderitaan. Akan tetapi penderitaan itu merupakan kesakitan kelahiran dari kemajuan dan kemajuan yang eksplosif senantiasa membawa kesakitan. Mencabut sampai ke-akar-akarnya kepentingan nasional dun internasional yang sudah bercokol selalu menyebabkan kesakitan dun kegoncangan. Kami mengetahuinya. Kami mengetahui pula dari pengalaman-pengalaman kami sendiri bahwa perkembangan itu sendiri menimbulkan pergolakan. Suatu bangsa yang sedang bergolak membutuhkan pimpinan dan bimbingan, dan akhirnya akan menghasilkan pimpinan serta bimbingannya sendiri.


Kami bangsa Indonesia berbicara berdasarkan pengalaman-pengalaman yang pahit. Masalah Konggo, yang merupakan masalah kolonialisme dan imperialisme, harus diselesaikan dengan menggunakan prinsip-prinsip yang telah saya uraikan tadi. Konggo adalah Negara yang berdaulat. Hendaknya kedaulatan itu dihormati. Ingatlah kedaulatan Konggo tidak kurang daripada kedaulatan setiap bangsa yang diwakili dalam Majelis ini, dan kedaulatan ini harus dihormati secara sama.

Dalam soal-soal dalam negeri Konggo tidak boleh ada cumpur tangan dan sama sekali tidak boleh ada bantuan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, untuk menghancurkan negara ini. Ya, memang bangsa itu akan membuat kesalahan-kesalahan, kita semua membuat kesalahan-kesalahan dan kita semua belajar dari kesalahan-kesalahan. Ya, pergolakan akan timbul, akan tetapi itupun biarlah berlangsung, karena ini merupakan tanda bagi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Sampai mana pergolakan itu adalah soalnya bangsa itu sendiri. Marilah kita, baik secara perseorangan, maupun secara bersama-sama, membantu disana apabila kita diminta oleh pemerintah yang sah dari bargsa itu.

Akan tetapi tiap-tiap bantuan semacam itu harus jelas didasarkan atas kedaulatan Konggo yang tidak boleh diganggu-gugat. Akhirnya, taruhlah kepercayaan pada bangsa itu! Mereka sedang mengalami masa percobaan yang besar dan sedang sangat menderita. Taruhlah kepercayaan pada mereka sebagai bangsa yang baru merdeka, dan mereka akan menemukan jalannya sendiri kearah penyelesaiannya sendiri daripada masalah-masalahnya sendiri. Disini hendak saya kemukakan peringatan yang sangat serius.

Banyak anggauta organisasi ini dan banyak pejabat organisasi ini mungkin tak begitu menyadari perbuatan-perbuatan imperialisme dan kolonialisme. Mereka tak pernah mengalaminya; mereka tak mengenal keuletannya dan kebengisannya dan banyaknya mukanya, dan kejahatannya. Kami dari Asia dan Afrika mengenalnya. Saya katakan pada Tuan-tuan: Janganlah bertindak sebagai alat yang tak tahu apa-apa dari imperialisme. Janganlah bertindak sebagai tangan kanan yang buta dari kolonialisme. Jika tuan bertindak demikian, maka tuan pasti akan membunuh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, dan dengan begitu tuan akan.membunuh harapan dari berjuta-juta manusia, yang tiada terhitung itu dan mungkin tuan akan menyebabkan hari depan mati dalam kandungan. Sebelum meninggalkan persoalan-persoalan ini, saya hendak, menyinggung pula suatu persoalan besar lain yang kira-kira sama sifatnya. Yang saya maksud ialah Aljazair. Disini terdapat suatu gambaran yang menyedihkan, dimana kedua belah fihak sedang berlumuran darah dan dihancurkan karena ketiadaan penyelesaian. Itu merupakan suatu tragedi! Sudah jelas sekali bahwa rakyat Aljaza�r menghendaki kemerdekaan. Hal itu tidak dapat dibantah lag�.

Andaikata tidak demikan, maka perjuangan yang lama dan pahit dan berdarah itu sudah akan berakhir bertahun-tahun yang lalu. Kehausan akan kemerdekaan serta ketabahan untuk memperoleh kemerdekaan itu merupakan faktor-faktor pokok dalam situasi ini. Apa yang belum ditentukan, hanyalah betapa akrab dan selaras suatu kerjasama dihari depan dengan Perancis seharusnya. Kerjasama yang sangat akrab dan sangat selaras tidak akan sukar dicapai, bahkan pada taraf sekarang ini, meskipun barangkali ia akan bertambah sukar dicapainya dengan terus berlangsungnya perjuangan itu. Maka, adakanlah suatu plebisit di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Aljazair untuk menentukan kehendak rakyat akan betapa akrab dan selaras hubungan-hubungan itu seharusnya. Plebesit itu hendaknya jangan mengenai soal kemerdekaan. Kemerdekaan itu sudah ditentukan dengan darah dan air mata dan pastilah akan berdiri suatu Aljazair yang merdeka.

Plebesit seperti yang saya sarankan, jika diselenggarakan dalam waktu singkat, akan merupakan jaminan yang terbaik bahwa antara Aljazair merdeka dan Perancis akan terdapat suatu kerjasama yang akrab dan baik untuk keuntungan bersama. Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman. Indonesia tadinya tidak mengandung niat untuk merusak hubungan-hubungan yang erat dan selaras dengan Belanda. Akan tetapi, rupa-rupanya bahkan dewasa ini, seperti generasi-generasi yang sudah-sudah, pemerintah bangsa itu berpegang teguh pada "memberi terlalu sedikit dan meminta terlampau banyak".

Baru ketika hal itu tak tertahankan lagi, hubungan-hubungan tersebut diputuskan. Ijinkanlah saya beralih kemasalah yang lebih luas tentang perang dan damai didunia kita ini. Yang pasti adalah bahwa negara-negara yang baru lahir dan yang dilahirkan kembali tidak merupakan ancaman terhadap perdamaian dunia. Kami tidak mempunyai ambisi-ambisi teritorial; kamipun tidak mempunyai tujuan-tujuan ekonomi yang tidak bisa disesuaikan. Ancaman terhap perdamaian tidak datang dari kami, tetapi malahan dari fihak negara-negara yang lebih tua, yang telah lama berdiri dan stabil itu.


O, ya, dinegara-negara kami terdapat pergolakan. Sebenarnya, pergolakan itu seakan-akan merupakan suatu fungsi dari jangka waktu pertama daripada kemerdekaan. Apakah itu mengherankan? Coba, marilah saya ambil contoh dari sejarah Amerika. Dalam satu generasi harus dialami Perang Kemerdekaan dan Perang Saudara antara Negara-Negara Bagian. Selanjutnya dalam generasi itu juga harus dialami timbulnya perserikatan-perserikatan buruh yang militant, - masa dari Internasional Workers of the World (I.W.W.), "Wobblies". Harus pula dialami hijrah ke Barat.

Harus pula dialami Revolusi Industri dan, ya, bahkan masa "pedagang-pedagang aktentas". Harus pula diderita akibat orang-orang ala Benedict Arnold. Dan seperti sering saya katakan, kami desakkan banyak revolusi dalam satu revolusi dan banyak generasi dalam satu generasi. Maka herankah Tuan-tuan jika terdapat pergolakan pada kami?

Bagi kami hal itu adalah biasa dan kami telah menjadi biasa untuk menunggang angin pusar. Saya mengerti benar bahwa untuk orang luaran hal ini seringkali tampak seperti gambaran kekacauan dan kerusuhan dan rebut-merebut kekuasaan. Bagaimanapun juga pergolakan itu adalah merupakan urusan kami sendiri dan tidak merupakan suatu ancaman bagi siapapun, meskipun hal itu sering memberi kesempatan-kesempatan untuk mencampuri urusan kami. Meskipun demikian, kepentingan-kepentingan yang bertentangan dari Negara-Negara Besar adalah soal lain: Dalam hal ini masalah-masalah dikaburkan oleh ancaman-ancaman dengan bom-bom hidrogen dan oleh diulang-ulanginya slogan-slogan lama yang telah usang. Kami tak dapat mengabaikannya karena masalah-masalah itu mengancam kami. Toh; terlalu sering masalah-masalah tersebut nampak seakan-akan tidak sungguh.

Dengan terus terang dan tanpa ragu-ragu hendak saya katakan kepada Tuan-tuan bahwa kami menempatkan hari-depan kami sendiri jauh di atas percekcokan-percekcokan di Eropah. Ya, kami banyak belajar dari Eropa dan Amerika. Kami telah mempelajari sejarah Tuan-tuan dan penghidupan orang-orang besar dari bangsa tuan. Kami telah mengikuti contoh dari Tuan-tuan, bahkan kami telah berusaha melebihi Tuan-tuan. Kami berbicara dalam bahasa-bahasa Tuan-tuan dan membaca buku-buku tuan-tuan. Kami telah diilhami oleh Lincoln dan Lenin, oleh Cromwell dan Garibaldi.

Dan memang masih banyak yang harus kami pelajari dari Tuan-tuan dibanyak bidang. Tetapi pada dewasa ini bidang-bidang yang kami harus pelajari lebih banyak lagi dari Tuan-tuan, adalah bidang teknik dan ilmiah, dan bukan paham-paham atau gerakan yang didiktekan oleh ideologi. Di Asia dan Afrika pada dewasa ini masih hidup, masih berpikir, masih bertindak, mereka yang memimpin bangsanya kearah kemerdekaan, mereka yang mengembangkan teori-teori ekonomi yang agung dan membebaskan, mereka yang telah menumbangkan kelaliman, mereka yang mempersatukan bangsanya dan mereka yang menaklukkan perpecahan bangsanya.

Oleh karena itu dan memang selayaknya, kami dari Asia-Afrika saling mendekati untuk memperoleh bimbingan dan inspirasi dan kami mencari pada diri sendiri pengalaman dan kebijaksanaan yang telah terhimpun pada bangsa-bangsa kami. Apakah Tuan-tuan tidak berpendapat bahwa Asia dan Afrika mungkin mempunyai suatu amanat dan suatu cara untuk seluruh dunia? Ahli filsafah Inggeris Bertrand Russell yang ulung itulah yang pemah berkata bahwa ummat manusia sekarang terbagi dalam dua golongan.

Yang satu menganut ajaran Declaration of American Independece dari Thomas Jefferson. Golongan lainnya menganut ajaran Manifesto Komunis. Maafkan, Lord Russell, akan tetapi saya kira tuan melupakan sesuatu. Saya kira Tuan melupakan adanya lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu. Siapakah yang tidak akan dapat ilham dari kata-kata dan semangat Declaration of Independence itu! "Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sebagai suatu, yang tak dapat disangkal lagi : bahwa manusia diciptakan dengan hak-hak yang sama, bahwa mereka diberikan oleh AI Khalik hak-hak tertentu yang tak dapat diganggu-gugat, dan bahwa diantara hak-hak itu terdapat hak untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak mengejar kebahagiaan".

Siapakah yang terlibat dalam perjuangan untuk kehidupan dan kemerdekaan nasional; tak akan diilhami! Dan sekali lagi, siapakah diantara kita, yang berjuang menegakkan suatu masyarakat, yang adil dan makmur diatas puing-puing kolonialisme, tak akan diilhami oleh bayangan kerjasarna dan perkembangan ekonomi yang dicetuskan oleh Marx dan Engels! Sekarang telah terjadi suatu konfrontasi diantara kedua pandangan itu, dan konfrontasi itu membahayakan, tidak hanya untuk mereka yang berhadapan tetapi juga untuk bagian dunia lainnya. Saya tidak dapat berbicara atas nama negara-negara Asia dan Afrika lainnya ? saya tidak diberi kuasa untuk itu, dan bagaiamanapun juga mereka sendiri cakap untuk mengemukakan pandangannya masing?masing. Akan tetapi saya diberi kuasa ? bahkan ditugaskan ? untuk berbicara atas nama bangsa saya yang berjumlah sembilan puluh dua juta itu. Seperti saya katakan; kami telah membaca dan mernpelajari kedua dokumen yang pokok itu:

Dari masing-masing dokumen itu banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa yang tak berguna bagi kami, kami yang hidup dibenua Iain dan beberapa generasi kemudian. Kami telah mensintesekan apa yang kami perlukan dari kedua dokumen itu, dan ditinjau dari pengalaman serta dari pengetahuan kami sendiri, sintese itu telah kami saring dan kami sesuaikan. Jadi, dengan minta maaf kepada Lord RusselI yang saya hormati sekali, dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak seperti dikiranya.

Meskipun kami telah mengambil sarinya, dan meskipun kami telah mencoba mensintesekan kedua dokumen yang peting itu; kami tidak dipimpin oleh keduanya itu saja. Kami tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan sesuatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya. Sejarah Indonesia kami sendiri memperlihatkannya dengan jelas, dan demikian pula halnya dengan sejarah seluruh dunia. "Sesuatu" itu kami namakan "Panca Sila". Ya, "Panca Sila" atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Memang, gagasan-gagasan dan cita?cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad-abad telah terkandung dalam bangsa karni.

Dan memang tidak mengherankan bahwa faham-faham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional. Jadi berbicara tentang Panca Sila dihadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun. Apakah Lima Sendi itu? la sangat sederhana : pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Nasionalisme, ketiga Internasionalisme, ke-empat Demokrasi dan kelima Keadilan Sosial. Perkenankanlah saya sakarang menguraikan sekedarnya tentang kelima pokok itu. Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini, dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini. Kemudian sebagai nomor dua ialah Nasionalisme. Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi kekuatan kepada kami sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya pejuangan kemerdekaan.

Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih tetap menyala-nyala didada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami! Akan tetapi nasionalisme kami sekali-kali bukanlah Chauvinisme. Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak kami kepada bangsa-bangsa lain. Saya mengetahui benar-benar bahwa istilah "nasionalisme" dicurigai, bahkan tidak d�percayai di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa dan memutar balikan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati masih tetap berkobar-kobar di negara-negara Barat. Jika tidak demikian, rnaka Barat tidak akan menantang dengan senjata chauvinisme Hitler yang agresif. Tidakkah nasionalisme ? sebutlah jika mau, patriotisme - mempertahankan kelangsungan hidup semua bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa, yang melahirkan dia? Siapa yang berani berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita; nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan. Nasionalisme kami di Asia dan Afrika tidaklah sama dengan yang terdapat pada sistem Negara-negara Barat. Di Barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya. Nasionalisme di Barat adalah kakek dari imperialisme, yang bapaknya adalah Kapitalisme.

Di Asia dan Afrika dan saya kira juga di Amerrka Latin, nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap imperialisme dan kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan nasionalisme-chauvinis yang bersumber di Eropah. Nasionalisme Asia dan Afrika serta Nasionalisme Amerika Latin tidak dapat ditinjau tanpa memperhatikan inti sosialnya. Di Indonesia kami menganggap inti sosial itu sebagai pendorong untuk mencapai keadilan dan kemakmuran.

Bukankah itu tujuan yang baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya tentang Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat adil dan makmur dapat merupakan cita-cita dan tujuan semua orang. Mahatma Gandhi pernah berkata: "Saya seorang nasionalis, akan tetapi nasionalisme saya adalah perikemanusiaan". Kamipun berkata demikian. Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa.

Kami nasionalis karena kami percaya bahwa bangsa-bangsa adalah sangat penting bagi dunia dimasa sekarang ini, dan kami tetap demikian, sejauh mata dapat memandang kemasa depan. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan nasionalisme dimana saja kami jumpainya. Sila ketiga kami adalah Internasionalisme. Antara Nasionalisme dan Internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Memang benar, bahwa internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah yang subur dari nasionalisme.

Bukankah Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu merupakan bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukan bahwa bangsa-bangsa mengingini dan membutuhkan suatu badan internasional, dimana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat. Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti-nasional dan memang bertentangan dengan kenyataan. Sila keempat adalah Demokrasi. Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas, demokrasi tampaknya merupakan keadilan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus. Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia. Kami percaya bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti internasional. Ini adalah soal saya bicarakan kemudian. Akhirnya, Sila yang penghabisan dan yang terutama ialah Keadilan Sosial. Pada Keadilan Sosial ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami menganggap kedua hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial.

Demikianlah Panca Sila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial. Tidaklah termasuk tugas saya hari ini untuk menguraikan bagaimana kami berusaha, dalam kehidupan dan urusan nasional kami, menggunakan dan melaksanakan Panca Sila. Jika saya menguraikan hal ini, maka ini akan mengganggu keramah-tamahan badan internasional ini. Akan tetapi saya sungguh-sungguh percaya bahwa Panca Sila mengandung lebih banyak daripada arti nasional saja. Panca Sila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional.

Tidak seorangpun akan membantah unsur kebenaran dalam pandangan yang dikemukakan oleh Bertrand Russell itu. Sebagian besar dari dunia telah terbagi menjadi golongan yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Declaration of American Independence dan golongan yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Manifesto Komunis. Mereka yang menerima gagasan yang satu menolak gagasan yang lain, dan terdapatlah bentrokan atas dasar ideologis maupun praktis. Kita semuanya terancam oleh bentrokan ini dan kita merasa khawatir karena bentrokan ini. Apakah tidak ada sesuatu tindakan yang dapat diambil terhadap ancaman ini? Apakah hal ini harus berlangsung terus dari generasi ke generasi, dengan kemungkinan pada akhirnya akan meletus menjadi lautan api yang akan menelan kita semuanya? Apakah tidak ada suatu jalan keluar? Jalan keluar harus ada. Jika tidak ada, maka semua musyawarah kita, semua harapan kita, semua perjuangan kita akan sia-sia belaka. Kami bangsa Indonesia tidak bersedia bertopang dagu, sedangkan dunia menuju kejurang keruntuhannya.

Kami tidak bersedia bahwa fajar cerah dari kemerdekaan kami diliputi oleh awan radio-aktif. Tidak satupun diantara bangsa-bangsa Asia atau Afrika akan bersedia menerima hal ini. Kami memikul pertanggungan jawab terhadap dunia, dan kami siap menerima serta memenuhi pertanggungan jawab itu. Jika itu berarti turut-campur dalam apa yang tadinya merupakan urusanurusan Negara-Negara Besar yang dijauhkan dari kami, maka kami akan bersedia melakukannya. Tidak ada bangsa Asia dan Afrika manapun juga yang akan menyingkiri tugas itu. Bukankah jelas, bahwa bentrokan itu timbul terutama karena ketidak-samaan?

Di dalam suatu bangsa, adanya yang kaya dan miskin, dan dihisap dan yang menghisap, menimbulkan bentrokan. Hilangkan penghisapan, dan bentrokan itu akan lenyap, karena sebab yang menimbulkan bentrokan itu telah tidak ada, Diantara bangsa-bangsa, jika ada yang kaya dan yang miskin, yang menghisap dan dihisap, akan pula ada bentrokan. Hilangkan sebab yang menimbulkan bentrokan, dan bentrokan itu akan lenyap. Hal ini berlaku, baik internasional maupun didalam suatu bangsa.

Dilenyapkannya imperialisme dan kolonialisme meniadakan penghisapan demikian daripada bangsa oleh bangsa. Saya percaya, bahwa ada jalan keluar daripada konfrontasi ideologi-ideologi ini. Saya percaya bahwa jalan keluar itu terletak pada dipakainya Panca Sila secara universil ! Siapakah diantara Tuan-Tuan menolak Panca Sila? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari Bangsa Amerika yang besar menolaknya? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari bangsa Rusia yang besar menolaknya? Ataukan wakil-wakil yang terhormat dari Inggris atau Polandia, atau Perancis atau Cekoslowakia?

Ataukah memang ada diantara mereka yang agaknya telah mengambil posisi yang statis dalam Perang Dingin antara gagasan-gagasan dan praktek-paktek, dan yang berusaha tetap berakar sedalam-dalamnya sedangkan dunia menghadapi.
Terima kasih

(Applause)
Diposkan oleh www.mawarmerah.com di 04:50