Siapa Anti Revolusi Indonesia Akan Hancur

here

Jumat, 12 Februari 2010

pergerakan perempuan


Sejarah awal pergerakan

Saat bangsa ini terus merintis kemajuannya demi meningkatkan martabat di mata bangsa lain, kepingan sejarah yang diciptakan oleh orang-orang berani dan bermisi kuat pun terus bertambah. Jika kita mau menelurusi kepingan-kepingan sejarah tersebut, maka jangan terkejut jika kita banyak menemukan peran wanita di dalamnya.

Tahun 2008 ini kita memperingati seratus tahun kebangkitan Nasional tahun 1908. Dalam seratus tahun perjalanan sejarah bangsa kita, kiprah perempuan Indonesia yang mengambil bagian dalam memajukan berbagai bidang kehidupan tidak bisa dilupakan begitu saja. Perempuan adalah bagian yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Pada saat krisis perekonomian, perempuanlah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Namun dalam keadaan yang kritis, tak jarang pula perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga hingga meluas ke perekonomian masyarakat.

Dilihat dari lembaran sejarah perjuangan bangsa, gerakan kebangkitan nasional berawal dari politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi pemuda Indonesia untuk mengecap pendidikan di sekolah. Sebenarnya maksud dari politik pemerintah Hindia-Belanda adalah untuk menghasilkan pekerja seperti buruh-buruh yang terdidik, guru-guru, birokrat rendahan, serta dokter-dokter yang bisa menangani penyakit kaum pribumi. Dengan demikian mereka bisa menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda. Namun ternyata politik ini memberi manfaat tersendiri bagi pemuda Indonesia. Pencerahan dalam dunia pendidikan yang mereka dapatkan menuntut jiwa muda mereka untuk mulai bergerak memperjuangkan kebangkitan bangsa ini untuk menuju kemerdekaan nantinya. Hingga tahun 1908 berdirilah organisasi Budi Utomo yang menjadi titik kebangkitan nasional. Sebenarnya jauh sebelum Budi Utomo dikukuhkan, telah lahir nama-nama pejuang perempuan yang ikut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Sebut saja nama Keumala Malahayati atau dikenal dengan Laksamana Malahayati yang menjadi Panglima Perang Armada Laut Wanita saat Aceh diperintah oleh Ali Riayat Shah (1586-1604), Alaudin Riayat Syah (1604-1607), dan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam buku Vrouwelijke Admiral Malahayati karangan Marie van Zuchtelen, Malahayati diceritakan memimpin armada yang terdiri atas 2.000 prajurit perempuan. Selain Malahayati, kita kenal juga Martha Christina Tiahahu (1801-1818), Cut Nyak Dien (1850-1908), yang perjuangannya dilanjutkan anaknya, Cut Meurah Gambang, Cut Meutia, Pocut Baren, dan banyak lagi pejuang wanita di sana.

Memasuki era perjuangan perempuan tanpa senjata, lahirlah seorang pejuang perempuan bernama R.A. Kartini (1879-1904) yang berjuang dalam memajukan pendidikan bagi kaum perempuan. Beliau menggugah kesadaran masyarakat pada saat itu dengan mengganti pola pikir keliru yang menyebutkan bahwa perempuan tidak perlu mengecap pendidikan, dengan pola pikir kemajuan yang menuntut kaum perempuan untuk juga merasakan pendidikan di sekolah. Tidak hanya si Sekolah Rendah, melainkan harus dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, seperti halnya kaum laki-laki.

Tentu saja, tidak hanya Kartini yang berjuang dalam meningkatkan taraf hidup kaum perempuan. Ada banyak perempuan yang tersebar di Nusantara yang juga menjadi pejuang kaum perempuan untuk menjadi lebih baik dan maju. Sejarah mencatat beberapa nama seperti Rohana Kudus yang menaikkan nama perempuan di kalangan jurnalis Indonesia, Rasuna Said yang menjadi perempuan pertama yang ditangkap kemudian dipenjara karena pidatonya yang mengecam tajam ketidakadilan pemerintah Belanda pada tahun 1932 di Semarang, kemudian ada juga Ny. Dahlan yang membangun kajian ta’lim untuk Ibu-Ibu walau masih terbatas di kawasan pondok-pondok.

Untuk mewujudkan cita-cita peningkatan kualitas pendidikan di kalangan perempuan, maka kekuatan masapun dirasa perlu. Oleh karena itu pejuang perempuan pada masa itu membentuk suatu organisasi perempuan yang akan mewadahi cita-cita mereka. Berawal dari Putri Mardika, sebuah organisasi formal perempuan yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912, organisasi-organisasi formal perempuan pun bermunculan di berbagai daerah. Menjamurnya organisasi perempuan di negeri ini memunculkan gagasan untuk menyatukan pikiran dalam sebuah pertemuan akbar, dan dengan usaha kuat di tengah-tengah masa jajahan akhirnya berhasil diadakan Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, dimana hampir 30 organisasi perempuan yang hadir pada saat itu. Kongres akbar yang menjadi fondasi pertama gerakan perempuan tersebut menghasilkan federasi organisasi yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang pada tahun berikutnya berubah nama menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia).

Dari untaian sejarah yang mengagumkan, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya Nusantara yang luas seakan sempit ketika perjuangan tak mengenal batas. Di masa jajahan penuh kekangan ditambah dengan teknologi komunikasi yang jauh lebih sederhana dari sekarang ini, pejuang perempuan pada masa itu bisa dengan sukses mengumpulkan puluhan organisasi perempuan yang tersebar di Nusantara dalam satu kongres besar. Ternyata benar adanya, pejuang dan pemimpin yang lahir dari zona ‘tidak aman’ akan tumbuh kuat dan tangguh.

Pencapaian hingga saat ini

Dari usaha keras antar generasi yang dilakukan oleh pejuang terdahulu, banyak sekali manfaat yang bisa kita rasakan saat ini.

Pada 1947, Maria Ulfah menjadi menteri wanita pertama saat dipercaya sebagai Menteri Sosial. Sementara itu, angka keterwakilan perempuan di kursi legislatif, walau perlahan, mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Dari hanya 9 orang (3,8 persen dari semua anggota) pada 1950-1955, saat ini menjadi 45 orang (9 persen).

Di dunia pendidikan, perempuan pun telah mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Tidak hanya di tingkat SD dan SMP, di kampus-kampus jumlah mahasiswa perempuan juga tidak kalah dengan jumlah mahasiswa yang laki-laki. Hal lain yang patut disyukuri adalah Munculnya kelompok-kelompok kajian Islam perempuan, yang justru menjamur di kampus-kampus negeri.


Tantangan pergerakan

Pergerakan perempuan yang berjalan dari masa ke masa tentu tidak berhenti sampai di sini saja. Seiring kemajuan bangsa, tantangan pergerakan juga akan terus hadir. Bahkan untuk kualitas pendidikan, sampai saat ini kita masih harus berjuang untuk menyetarakannya dengan negara-negara lain yang lebih berkembang. Untuk kasus kaum perempuan sendiri, di kalangan Ibu-Ibu masa kini bahkan masih perlu diberikan pencerdasan yang benar sesuai dengan aqidah Islam. Saat ini banyak sekali kaum Ibu yang bangga melihat anaknya mengumbar aurat di muka umum, asal terkenal dan berpenghasilan tinggi dianggap sudah sangat membanggakan. Hal-hal seperti inilah yang harus diluruskan. Emansipasi boleh, tapi jangan disamakan dengan gaya barat, karena emansipasi kita jelas berbeda dengan emansipasi gaya barat, emansipasi kita harus melihat kembali kepada Fiqh Islam.

Terakhir, tantangan dalam karya. Karena perjuangan dalam karya adalah investasi pengetahuan untuk generasi mendatang. Sama seperti pejuang terdahulu, kita tentu menginginkan perjuangan kita saat ini bisa dilanjutkan oleh anak cucu kita nanti. Banyak sekali pejuang perempuan pada masa lampau yang ikut berjuang mulai dari memajukan martabat perempuan hingga berjuang merebut kemerdekaan, namun mengapa seolah-olah hanya ada Kartini saja, mengapa nama beliau begitu besar dan harum di kalangan aktivis perempuan dari masa ke masa? Jawabannya adalah karena Kartini meningalkan karya sehingga bisa dinikmati sampai kapanpun oleh generasi penerus, sehingga sejarah pun akan mengenangnya bersama karya-karya itu sebagai bukti sejarah yang ditinggalkannya.

Oleh:

Hazlinda Aziz, Anggota Kelompok Studi Perempuan SALAM UI,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar