Siapa Anti Revolusi Indonesia Akan Hancur

here

Rabu, 17 Februari 2010



W.R. Supratman – Indonesia Raya

Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Senin, 15 Februari 2010

Istri-istri soekarno

Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, merupakan gambaran seorang pemimpin besar di mata rakyat Indonesia. Jiwa kepemimpinan dan karismanya yang terpancar kuat mungkin masih dapat disaksimatakan oleh beberapa orang yang masih hidup di masa Sukarno berkuasa. Daya tarik Sukarno inilah yang juga sulit untuk ditolak oleh beberapa perempuan yang pernah hadir sebagai penghias hati bapak proklamator Indonesia ini. Tercatat ada 9 orang wanita yang pernah dinikahinya. Sampai akhir hidupnya, beberapa telah berstatus sebagai mantan istri dan beberapa lagi masih menjadi istri yang sah.
Sukarno memang adalah seorang pecinta dan pemuja wanita. Ibarat kumbang di taman yang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain, demikianlah Sukarno. Sukarno memang bukan sosok manusia hipokrit. Dalam wawancara yang dilakukan Cindy Adams, penulis biografinya, dengan terang-terangan Sukarno mengatakan, " I'm a very physical man. I must have sex everyday. "
Reni Nurhayati, sang penulis buku, menilai bahwa memang tak ada satupun dari istri-istri Sukarno yang tidak cantik. Pada Bambang Widjanarko, orang yang pernah 8 tahun menjadi ajudannya, ia berujar, "Ya, aku senang melihat wanita cantik. Aku akan merasa lebih berdosa bila berpura-pura dengan mengatakan tidak atau bersikap seakan tidak senang. Berpura-pura seperti itu namanya munafik dan aku tidak mau munafik." Di saat yang berbeda, ia juga pernah mengatakan, "Aku menjunjung Nabi Besar. Aku mempelajari ucapan-ucapan beliau dengan teliti. Jadi, moralnya bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang mengagumi perempuan yang cantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu, karena melakukan itu pada hakekatnya aku memuji Tuhan dan memuji apa yang telah diciptakanNya."
Siti Utari Tjokroaminoto, Inggit Ganarsih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manopo, Naoko Nemoto yang kemudian berganti nama menjadi Ratnasari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar, demikian nama kesembilan bunga hati Sukarno. Cinta memang buta, ia juga tak kenal usia, demikianlah faktanya yang terjadi dengan cinta Sukarno. Mulai dari yang lebih tua darinya 15 tahun (Inggit Ganarsih) hingga yang lebih muda 46 tahun (Heldy Djafar), semua telah jatuh dalam pesona Sukarno. Bagi Sukarno, kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si istri merupakan perpaduan daripada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Hal ini mungkin yang membuat Sukarno tetap bisa bersikap sama romantis terhadap istri tua maupun istri mudanya. Ia sanggup membuat istri-istrinya merasa bahwa merekalah satu-satunya wanita dalam hidup Sukarno.
Kepiawaian Sukarno mengambil hati wanita memang tidak diragukan lagi. Surat cinta, rayuan, dan sikap gentleman khas Sukarno menjadi hal yang masih dapat dikenang oleh istri dan mantan istrinya. Kendati beberapa diantaranya sudah bercerai dan menikah lagi dengan pria lain, mereka masih fasih membahasakan kembali sederetan kata indah yang pernah ditulis dan diucapkan oleh Sukarno. Banyak gelar yang akhirnya orang sandangkan pada Sukarno menyangkut keahliannya yang satu ini, diantaranya Arjuna, Casanava Cinta, dan Don Juan, sedangkan dari pengagumnya di luar negeri ia dijuluki A Great Lover. Sepak terjangnya memang telah sampai menjadi sorotan dunia, pers barat bahkan dengan sinis menyebutnya " Le Grand Seducteur - tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu".
Bagaimanapun penilaian kita pada pribadi Sukarno mengenai kehidupan asmaranya bersama wanita-wanitanya, beliau tetaplah aktor sejarah yang sangat berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia. Dibalik perjuangannya bagi bangsa ini, tertoreh nama Inggit Ginarsih yang Sukarno sendiri sebut sebagai Srikandi Indonesia di depan khalayak ramai pada waktu Kongres Indonesia Raya di Surabaya tahun 1931, dan Fatmawati sang penjahit bendera pusaka Indonesia.
Tidak tahu seberapa besar cintanya pada istri yang satu maupun istri yang lainnya namun satu hal yang pasti cintanya pada Ibu Pertiwi sangatlah besar. Ratna Sari Dewi dalam buku Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, menyatakan bahwa sesungguhnya Sukarno adalah seorang pahlawan sejati yang hanya mencintai negara dan bangsanya.

isme-isme yg mengguncang dunia

Sengketa besar dari abad kita ini adalah perjuangan di antara sistem totaliter yang agresif dan cara hidup yang bebas. Belum lama berselang ancaman utama terhadap kemerdekaan adalah Fasisme. Kekerasan dan teror komunisme totaliter dan fasisme, mulai dari kamp-kamp kerja paksa hingga pembunuhan secara besar-besaran yang direncanakan, mencerminkan satu ideologi fanatik yang tidak kenal kompromi.

KOMUNISME

Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia, selain kapitalisme dan ideologi lainnya. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana mereka itu mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh. Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan Marxisme. Komunisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis di seluruh dunia. Racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut “Marxisme-Leninisme”. Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi “tumpul” dan tidak lagi diminati.

Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi. Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme juga disebut anti liberalisme. Secara umum komunisme sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama dianggap candu yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata.

Tokoh-tokoh yang terkenal :

· Karl Marx

· Vladimir Lenin

FASISME

Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah.

Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.

Tokoh-tokoh yang terkenal :

· Benito Mussolini

· Adolf Hitler

· Kaisar Hirohito

· Jendral Peron

KAPITALISME

Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.

Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild sebagai cikal bakal kapitalisme. Saat ini, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka. Peleburan kapitalisme dengan sosialisme tanpa adanya pengubahan menjadikan kapitalisme lebih lunak daripada dua atau tiga abad yang lalu.

Tokoh-tokoh yang terkenal :

· Adam Smith

· Max Weber

· John locke

· Benjamin Franklin

Sosialisme

Istilah sosialisme atau sosialis dapat mengacu ke beberapa hal yang berhubungan dengan ideologi atau kelompok ideologi, sistem ekonomi, dan negara. Istilah ini mulai digunakan sejak awal abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, istilah ini digunakan pertama kali untuk menyebut pengikut Robert Owen pada tahun 1827. Di Perancis, istilah ini mengacu pada para pengikut doktrin Saint-Simon pada tahun 1832 yang dipopulerkan oleh Pierre Leroux dan J. Regnaud dalam l’Encyclopédie Nouvelle. Penggunaan istilah sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian yang dengan sistem ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak daripada hanya segelintir elite.

Menurut penganut Marxisme, terutama Friedrich Engels, model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke awal sejarah manusia dari sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Pada masa pencerahan abad ke-18, para pemikir dan penulis revolusioner seperti Marquis de Condorcet, Voltaire, Rousseau, Diderot, Abbé de Mably, dan Morelly, mengekspresikan ketidakpuasan mereka atas berbagai lapisan masyarakat di Perancis.

Tokoh-tokoh yang terkenal :

· Robert owen

· Plato

Bung Karno sebagai Guru Bangsa



Ditulis Oleh : Administrator
Di antara banyak predikat yang telah diberikan kepada Bung Karno, patutlah kiranya pada peringatan ulang tahunnya yang ke-102 ini ia juga dikenang sebagai guru bangsa. Sebagai pencetus maupun komunikator, banyak pemikiran penting telah menjadi sumbangan pendidikan tak terhingga bagi negara-bangsa ini.

Layaknya seorang guru yang cakap, ia mampu menyampaikan gagasan-gagasan penting dengan lancar, penuh imajinasi, dan komunikatif. Di tangannya, topik-topik bahasan yang sebenarnya berat menjadi gampang dicerna, mudah dipahami masyarakat luas.

Ingat, misalnya, saat secara berkala pada tahun 1958-1959 ia memberikan rangkaian "kuliah" guna menjelaskan kembali sila demi sila dari Pancasila sebagai dasar negara, masing-masing satu sila setiap kesempatan "tatap muka." Pada 26 Mei 1958 ia memulai rangkaian itu dengan memberi kuliah tentang pengertian umum Pancasila. Setelah menyampaikan penjelasan tentang berbagai bentuk kapitalisme dan perlawanan terhadapnya, ia menekankan bahwa Pancasila bukan hanya merupakan pandangan hidup, melainkan juga alat pemersatu bangsa.

Kuliah pembukaan itu disusul kuliah-kuliah serupa lain yang biasanya diadakan di Istana Negara dan disiarkan langsung melalui radio ke seluruh penjuru Tanah Air. Berbeda dengan pidato-pidato Bung Karno di depan massa yang biasanya berapi-api membakar semangat rakyat, kuliah-kuliah ini berjalan lebih rileks dan komunikatif.

Dengan kuliah-kuliah itu tampaknya Bung Karno ingin sekaligus mengingatkan, Istana Negara bukan tempat sangar atau sakral yang hanya boleh dimasuki presiden dan pejabat maha penting negeri ini, tetapi Istana milik rakyat, tempat masyarakat belajar mengenai banyak hal, termasuk dasar negara. Ia ingin menjadikan Istana (dan mungkin Indonesia umumnya) sebagai "ruang kuliah" di mana terselenggara proses belajar-mengajar antara masyarakat dan pemimpinnya.

Teori dan praksis

Dari teori-teori filsafat dan politik serta acuan-acuan historis yang digunakan dalam mengurai sila-sila Pancasila, tampak pengetahuan Soekarno amat luas dan dalam. Dalam uraian-uraiannya, tidak jarang ia menyitir pikiran Renan, Confusius, Gandhi, atau Marx. Dengan begitu, ia seolah ingin menunjukkan dan memberi contoh, tiap warga negara perlu terus memperluas pengetahuannya. Meski ia sendiri sebenarnya dididik sebagai orang teknik, namun amat akrab dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, sejarah, politik, dan agama.

Dalam salah satu kuliahnya Bung Karno menyinggung kembali pertemuan dan dialognya dengan petani miskin Marhaen. Dialog sendiri sudah berlangsung jauh sebelumnya, tetapi ia masih mampu mengingat dan menggambarkan amat jelas. Ini menandakan, Soekarno menaruh perhatian pada perjumpaannya dengan wong cilik, rakyat jelata, dan ingin menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan bersama guna membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan. Baginya retorika memperjuangkan rakyat yang tidak disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat adalah omong kosong.

Dengan kata lain, sebagai guru bangsa ia tak suka hanya berkutat di dunia teori, tetapi juga menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari bangsanya. Bung Karno selalu berupaya keras mempertemukan "buku" dengan "bumi," menatapkan teori-teori sosial-politik dengan realitas keseharian manusia Indonesia yang sedang ia perjuangkan.

Bung Karno terus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan aksi. Mungkin inilah salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin lain, baik yang sezamannya maupun sesudahnya.

Perlu diingat, lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan uraian dan gagasannya, satu hal tak dapat diragukan tentang Soekarno: ia bukan seorang pejabat yang korup. Sulit dibayangkan, Soekarno suka menduduki posisi-posisi tertentu di pemerintahan karena ingin mencuri uang rakyat atau menumpuk kekayaan untuk diri sendiri.

Perjuangan Soekarno adalah perjuangan tulus, yang disegani bahkan oleh orang-orang yang tak sepaham dengannya. Karena itu, tak mengherankan betapapun ruwetnya ekonomi Indonesia di bawah pemerintahaannya, tak terlihat kecenderungan pejabat-pejabat pemerintah di zaman itu yang tanpa malu korupsi atau berkongkalikong menjual sumber-sumber alam milik rakyat.

Absennya guru-guru lain

Bagaimanapun juga, sebagai seorang manusia Bung Karno bukan tanpa kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara, misalnya, ia tampak "menikmati" posisinya sehingga ada kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai seorang pelayan publik dalam tata masyarakat demokratis. Sebagai presiden seharusnya ia menyadari kedudukannya sebagai seseorang yang menjabat sejauh rakyat memberi mandat padanya, itu pun disertai batasan masa jabatan tertentu.

Rupanya Bung Karno tidak terlalu menghiraukan hal itu. Karenanya ketika tahun 1963 diangkat sebagai presiden seumur hidup, ia tidak menolak.

Sebagai seorang guru yang memandang negerinya sebagai sebuah "ruang kuliah" raksasa dan rekan-rekan sebangsanya sebagai "murid-murid" yang patuh, terkesan Bung Karno tak memerlukan adanya "guru-guru" lain. Ia tak keberatan akan keberadaan mereka, tetapi-sadar atau tidak-"gaya mengajar"-nya mendorong tokoh-tokoh lain yang potensial untuk juga menjadi guru bangsa terpaksa menyingkir atau tersingkir.

Kita belum lupa ketika pada 1 Desember 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Kita juga masih ingat bagaimana orang-orang dekat Bung Karno-seperti Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Moh Natsir, dan lainnya-satu per satu menjauh darinya.

Pada pertengahan 1950-an rupanya perhatian Bung Karno yang begitu besar kepada posisinya sendiri membuatnya kurang menyadari bahwa dampak Perang Dingin telah kian jauh merasuki Indonesia. Kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 dan pemilu daerah tahun 1957, misalnya, telah benar-benar mempengaruhi perhatian dan kebijakan para pelaku utama Perang Dingin terhadap Indonesia.

Di satu pihak, Cina dan Uni Soviet menyambut kemenangan itu dengan gembira karena menandakan kian meluasnya komunisme di Indonesia. Di lain pihak, bagi AS dan sekutunya, kemenangan itu meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan "lepas" dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam pola pikiran teori domino, lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan Barat di Asia Tenggara.

Sedikit demi sedikit panggung ketegangan pun dibangun. Tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan berdarah antara PKI dan unsur-unsur bersenjata yang didukung Barat. Bung Karno sadar, tetapi terlambat. Dengan gemetar ia terpaksa menyaksikan ratusan ribu rakyat yang ia cintai dibantai secara terencana dan brutal.

Sedikit demi sedikit ia dijepit. Akhirnya guru bangsa yang besar ini disingkirkan dari panggung kekuasaan. Ia pun wafat sebagai seorang tahanan politik yang miskin, di negeri yang kemerdekaannya dengan gigih ia perjuangkan.

Akhir hidup Bung Karno memang memilukan. Tetapi ajaran-ajarannya sebagai guru bangsa tetap relevan dan penting untuk negara-bangsa ini. Orang dapat belajar tidak hanya dari apa yang dikatakan, tetapi juga dari tindakan, berikut keunggulan dan kelemahannya. Kita berharap kaum muda negeri ini tak jemu untuk terus belajar dari sejarah, termasuk dari Bung Karno sebagai guru bangsa.

Tentang Nasionalisme


Tentang Nasionalisme
Ditulis Oleh : Administrator
• Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi
"perkakasnya Tuhan", dan membuat kita menjadi "hidup di dalam
rokh".
[Suluh Indonesia Muda, 1928]

• Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya itu bukan se-mata-mata
copie atas tiruan dari Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa
cinta akan manusia dan kemanusiaan.
[Di bawah bendera revolusi, hlm. 5]
• Nasionalisme Eropa ialah satu Nasionalisme yang bersifat serang
menyerang, satu Nasionalisme yang mengejar keperluan Beograd, sat
Nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, Nasionalisme
semacam itu pastilah salah, pastilah binasa.
[Di bawah bendera revolusi, hlm. 6]
• Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan menjadi buruh antara
bangsa-bangsa. Tuan-tuan Hakim-itu bukan nyaman... Tidaklah
karenanya wajib tiap-tiap nasionalls mencegah keadaan itu dengan
seberat-beratnya ?
[Indonesia menggugat, hlm. 58]
• Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kita kira seperti kursi-
kursi yang dijajarkan. Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah sat
jiwa, maka kita pada waktu memikirkan dasar statis atau dasar dinam
bagi bangsa, tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu
Beograd.
[[Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 37]
• Entah bagaimana tercapainya "persatuan" itu, entah bagaimana
rupanya "persatuan" itu, akan tetapi kapal yang membawa kita ke
Indonesia - Merdeka itu, ialah ...."Kapal Persatuan" adanya.
[Di bawah bendera revolusi, hlm. 2]

sarinah

Tentang wanita
Ditulis Oleh : Administrator
• Tetapi pikiran saya melayang, melayang memikirkan satu soal-soal W
a n i t a. Kemerdekaan! Bilakah Sarinah-Sarinah mendapat
kemerdekaan! Tetapi, ya kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan
yang di kehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak,
menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki?.
Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum?
Kemerdekaan ala Kollontay?
[Sarinah, hlm. 8]

• Sesungguhnya kita harus belajar insaf, bahwa soal masyarakat dan
Negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-
laki. Dan soal perempuan adalah suatu soal masyarakat dan negara.
[Sarinah, hlm. 14]

• Dan kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang sstu menindas
saf yang lain. Harmoni hanya dapat tercapai, kalau tidak ada saf satu di
atas yang lain, tetapi dua "saf" itu sama derajat, berjajar yang satu
dengan yang lain, yang satu memperkuat yang lain. Tetapi masing-
masing menurut kodratnya Beograd.
[Sarinah, hlm. 15]
Kaum laki-laki marilah kita memikirkan soal ini. Dan marilah kita ikut
memikirkan soal perempuan sebab di dalam masyarakat sekarang ini,
saya melihat bahwa kadang-kadang kaum laki-laki terlalu main Yang
Dipertuan di atas soal-soal yang mengenai perempuan.
[Sarinah, hlm. 14]

Tiada masyarakat manusia satupun dapat berkemajuan, kalau laki-
perempuan yang satu tidak membawa yang lain, karenanya janganlah
masyarakat laki-laki mengira, bahwa ia dapat maju subur, kalau tidak
dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula.
[Sarinah, hlm. 17]

bahasa nasional,, bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia

JANJIKU sudah terpenuhi. Pendidikanku sudah selesai. Mulai saat ini untuk seterusnya tidak ada yang akan menghalang‐halangiku menjalankan pekerjaan untuk mana aku dilahirkan.Semenjak aku berdiri diatas jambatan di Surabaya itu dan mendengarkan jeritan rakyatku, aku menyadari bahwa akulah yang harus berjuang untuk mereka. Hasrat yang menyala‐nyal untuk membebaskan rakyatku bukanlah hanya ambisi perorangan. Jiwaku penuh dengan itu. Ia melewati sekujur badanku. Ia mengisi padat lubang hidungku. Ia mengalir melalui urat nadiku. Untuk itulah orang mempersembahkan seluruh hidupnya. Ia lebih daripada hanya sebagai kewajiban. Ia lebih daripada panggilan jiwa. Bagiku ia adalah satu …… kejakinan. Menurut para mahaguru tesisku tentang konstruksi pelabuhan dan jalanan air ditambah dengan teoriku tentang perencanaan kota mempunyai “nilai penemuan dan keaslian yang begitu tinggi”, sehingga untukku disediakan jabatan sebagai assisten dosen. Aku menolaknya. Juga ditawarkan pekerjaan pemerintahan kota. Inipun kutolak. Salah seorang mahaguru, Professor Ir. Wolf Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warna kulit. Baginya tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginya tidak ada pengikatan atau kebebasan. Dia hanya menundukkan kepala kepada kemampuan seseorang. “Saya menghargai kecakapanmu,” katanya. “Dan saya tidak ingin kecakapan ini tersia‐sia. Engkau mempunyai pikiran yang kreatif. Jadi saya minta supaya engkau bekerja dengan pemerintah. “Sungguhpun aku keberatan, ia menyerahkanku kepada Direktur Pekerdjaan Umum yang meminta kepadaku untuk merencanakan suatu proyek untuk perumahan Bupati. Insinyur kepalanya sudah tentu seorang Belanda yang tidak mengenal sama sekali kehidupan orang Indonesia dan kebutuhannya. Akan tetapi oleh karena aku tidak menghendaki pekerjaan ini, kusampaikan kepadanya pendapatku tentang rencana arsitekturnya, “Maafkan saya, tuan, konsepsi tuan didasarkan pada semangat pedagang rempah rempah Belanda. Setiap orang Belanda merencanakan secara teknis salah. Persil‐persil di Bandung hanya 15 meter lebar dan 20 meter ke dalam dan rumah‐rumahnya sempit. Kota Bandung direncanakan seperti kandang ayam. Bahkan jalannya sempit, karena ia dibuat menurut cara berpikir Belanda yang sempit. Sama saja dengan proyek yang tuan rencanakan. Ia tidak mempunyai ‘Schwung’. “Karena aku telah menolak pekerjaan yang diberikan itu, aku merasa wajib memberi penjelasan kepada Professor Schoemaker, “Tuan telah menyatakan, bahwa saya dalam ruang lingkup yang kecil memiliki daya cipta. Yah, saya ingin mencipta,” kataku dengan hebat. “Akan tetapi untuk saya sendiri.

Saja tidak yakin dikemudian hari akan menjadi pembangun rumah. Tujuan saya ialah untuk menjadi pembangun dari suatu bangsa. “Politik usang dari Gerakan Kebangsaan kami, yaitu mengadakan dengan pemerintah dengan cara mengemis‐ngemis, hanya menghasilkan janji‐janji yang.tidak ditepati. Dengan usaha saya, kami baru‐baru ini memulai politik non‐kooperasi. Ini didasarkan pada kehendak percaya pada diri sendiri dan di bidang ekonomi terlepas dari bantuan negara asing. “Kawanku itu mendengarkan dengan tenang, kemudian berkata, “Anak muda, hendaknya bakatmu dipergunakan secara maksimal. Kalau engkau berdiri sendiri, ini akan memakan waktu bertahun‐tahun untuk bisa maju. Hanya orang‐orang Belanda yang berpangkat tinggi atau pegawai pemerintahlah yang bisa berhasil mengadakan biro arsitek. Dan mereka tentu keberatan untuk mempekerjakan seorang muda yang tidak berpengalaman dan juga kebetulan berada paling atas dalam daftar hitam polisi, karena dianggap sebagai pengacau. Usul saya ini adalah permulaan yang baik untukmu.” Pandangannya itu memang baik. “Professor, saya menolak untuk bekerja‐sama, supaya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saya bekerja dengan pemerintah, secara diam‐diam saya membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu. Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan untuk menjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama‐lamanya.” “Jangan terima pekerjaan jangka lama, kalau sekiranya perasaan tidak senangmu begitu kuat,” ia mempertahankan, “Akan tetapi buatlah satu rumah ini saja untuk Bupati. Cobalah kerjakan ….. Kerjakanlah atas permintaan saya. “Aku melakukan sebagaimana yang dimintanya. Pekerjaan ini sangat berhasil dan aku dibanjiri dengan permintaan untuk mengerjakan karya teknik semacam itu untuk pejabat‐pejabat lain. Sungguhpun bantuan uang dari keluargaku sudah tidak ada lagi semenjak aku selesai dan sekalipun aku tidak mempunyai jalan yang nyata untak membantu isteriku, aku menolaknya. Aku membuat rencana Kabupaten hanya karena sangat menghargai dan menghormati Professor itu. Akan tetapi ini adalah yang pertama dan terakhir aku bekerja untuk Pemerintah. Kemudian, ketika Departemen Pekerdjaan Umum menawarkan kedudukan tetap kepadaku, aku menolaknya dengan alasan bahwa aku memperjuangkan non‐kooperasi. Aku sangat memerlukan uang dan pekerjaan. Aku sudah tidak mempunyai harapan sama sekali untuk memperoleh kedua‐duanya ini ketika aku mendengar lowongan di sekolah Yayasan Ksatrian yang diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi. Mereka mencari seorang guru yang akan mengajar dalam dua mata pelajaran. Yang pertama adalah sejarah, untuk mana aku sangat berhasrat besar. Mata pelajaran yang lain? Ilmu pasti! Dan dalam segala segi‐seginya lagi! Jadi sebagaimana telah kutegaskan dengan segala kejujuran yang pahit, kalau ada mata pelajaran yang sama sekali tidak bisa kuatasi, maka itulah dia ilmu pasti. Akan tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Guru yang ditugaskan untuk melakukan tanya jawab bertanya, “Ir. Sukarno, tuan adalah insinyur yang berijazah, jadi tentu tuan ahli dalam ilmu pasti, bukankah begitu?” ,”Oh, ya tuan,” aku menyeringai merecik kepercayaan. — “Ya, tuan. Ya, betul. Saya menguasainya.” Baiklah, tuan dapat mengadar ilmu pasti?” tanyanya. “Mengapa tidak,” aku membohong. “Saya menguasai betul ilmu pasti. Menguasainya sungguh‐sungguh. Ini mata pelajaran yang saya senangi.” Inggit dan aku sudah kering sama sekali, tidak mempunyai apa‐apa lagi. Apa yang dapat kami suguhkan kepada tamu hanya secangkir teh encer tanpa
gula. Jadi, apa yang harus kukatakan kepadanya? Bahwa aku sama sekali tidak dapat mengajar ilmu pasti? Bahwa sesungguhnya aku gagal dalam pelajaran itu?. Kalau demikian, tentu aku tidak akan memperoleh pekerjaan itu. Temanku, Dr. Setiabudi, datang sendiri kepadaku dan sekali lagi bertanya, “Bagaimana pendapatmu sesungguhnya, bisakah engkau mengajar?” Dan kuulangi dengan suara yang tergoncang dan tersinggung, “Apakah saya bisa mengajar? Tentu saya bisa mengajar. Tentu saja saya bisa. Sudah pasti.” Ilmu pasti juga?” Ya, ilmu pasti juga.” Aneh, kenyataannya aku menghadapi kesukaran justru dalam pelajaran sejarah. Kelasku berjumlah 30 orang murid, termasuk Anwar Tjokroaminoto. Tak seorangpun memberiku petunjuk dalam cara mengajar. Jadi aku mencobakan caraku sendiri. Sayang, aku tidak berhasil mendekati metode yang resmi. Dalam pelajaran sejarah aku mempunyai gayaku sendiri. Aku tidak menyesuaikan sama sekali teori bahwa anak‐anak harus diajar secara kenyataan. Angan‐anganku ialah hendak menggerakkan mereka supaya bersemangat. Aku lebih berpegang pada pengertian sejarah daripada mengajarkan nama‐nama, tahun dan tempat. Aku tak pernah memusingkan kepala tentang tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau tahun berapa Napoleon gagal di Waterloo atau hal‐hal lain yang sama remehnya seperti apa yang biasanya mereka ajarkan di sekolah. Kalau seharusnya aku memperlakukan murid‐muridku sebagai anak‐anak yang masih kecil, yang kemampuannya dalam mata pelajaran ini terpusat pada mengingat fakta‐fakta, maka aku berfalsafah dengan mereka. Aku memberikan alasan mengapa ini dan itu terdjadi. Aku memperlihatkan peristiwaperistiwa sejarah secara sandiwara. Aku tidak memberikan pengetahuan secara dingin dan kronologis. Ooo tidak, Sukarno tidak memberikan hal semacam itu. Itu tidak bisa diharapkan dari seorang orator yang berbakat dari lahirnya. Aku mengayunkan tanganku dan mencobakannya. Kalau aku bercerita tentang Sun Yat Sen, aku betul‐betul berteriak dan memukul meja. Sudah menjadi aturan dari Departemen Pengajaran Hindia Belanda, sekolah‐sekolah dikunjungi oleh penilik‐penilik sekolah pada waktu‐waktu tertentu. Pada waktunja jang tepat seorang penilik sekolah datang mendengarkan pelajaran sejarahku. Dia duduk dengan tenang dibelakang kelas untuk memperhatikan. Selama dua jam aku mengajar dengan cara yang menurut pikiranku paling baik, sementara mana aku menyadari bahwa dia mendengarkan dengan saksarna. Secara kebetulan pelajaran kali ini berkenaan dengan Imperialisme. Karena aku sangat menguasai pokok persoalan ini, aku menjadi begitu bersemangat sehingga aku terlompat‐lompat dan mengutuk seluruh sistemnya. Dapatkah engkau membayangkan? Di hadapan penilik sekolah bangsa Belanda yang memandang padaku dengan wajah tidak percaya, aku sungguh‐sungguh menamakan Negeri Belanda sebagai “Kolonialis yang terkutuk ini”! Ketika pelajaran dan kisahku kedua‐duanya selesai, penilik sekolah itu menyatakan dengan seenaknya bahwa menurut pendapatnya sesungguhnya aku bukan pengajar yang terbaik yang pernah dilihatnya dan bahwa aku tidak mempunyai masa depan yang baik dalam pekerjaan ini. Ia berkata kepadaku, “Raden Sukarno, tuan bukan guru, tuan seorang pembicara!” Dan inilah akhir daripada karierku yang singkat sebagai guru. 26 Djuli 1926 aku membuka biro teknikku yang pertama, bekerjasama dengan seorang teman sekelas, Ir. Anwari. Aku tak pernah lagi mendapat kesempatan untuk memasuki Ruang Keilmuan. Kehidupan segera memikulkan beban di atas pundakku dan melemparkan aku ke atas tumpukan sampah dan ke dalam pondok‐pondok yang bocor dan goyah. Kehidupan melemparkan daku ke pasar‐pasar. Kehidupan membuangku ke hutan‐hutan, ke kampung‐kampung dan sawah‐sawah. Aku tidak mendjadi guru. Aku menjadi juru khotbah. Mimbarku adalah pinggiran jalan. Kumpulanku? Massa rakyat menggerumut yang sangat merindukan pertolongan. Di tahun 1926 aku mulai mengkhotbahkan nasionalisme terpimpin. Sebelum itu aku hanya memberikan kepada pendengarku kesadaran nasional lebih banyak daripada yang mereka ketahui sebelumnya. Sekarang aku tidak saja mengoyak‐oyak mereka untuk bangun, akan tetapi aku memimpin mereka. Aku menerangkan, bahwa sudah datang waktunya untuk menjelmakan suatu masyarakat baru yang demokratis sebagai ganti feodalisme yang telah bercokol selama berabad‐abad. Aku berkata kepada para pendengarku, “Kita tidak lagi akan membiarkan diri kita secara patuh mengikuti cara hidup yang akan membawa kita kepada kehancuran kita sendiri. Kehidupan yang terdiri dari kelas‐kelas, kasta‐kasta dan yang punya dan tidak punya menimbulkan perbudakan. Di dalam kehidupan modern manusia berjuang untuk meninggikan harkat kehidupan rakyat. Mereka yang tidak menghiraukan hal ini akan dibinasakan oleh rakyat banyak dan oleh bangsa‐bangsa yang berjuang untuk memperoleh haknya. “Kita memerlukan persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan selama hidup kita. Mari kita tanggalkan pemakaian gelar‐gelar. Walaupun saya dilahirkan dalam kelas
ningrat, saya tidak pernah menyebut diriku raden dan saya minta kepada saudara‐saudara mulai dari saat ini dan untuk seterusnya supaya saudara‐saudara jangan memanggil saya raden. Mulai dari sekarang jangan ada seorangpun menyebutku sebagai Tedaking Kusuma Rembesing Madu “Keturunan Bangsawan”. Tidak, aku hanya cucu dari seorang petani. Feodalisme adalah kepunyaan masalah yang sudah dikubur. Feodalisne bukan kepunyaan Indonesia di masa yang akan datang. “Sementara aku mendidik para pendengarku untuk menghabisi sistem feodal, aku melangkah selangkah maju, ialah ke bidang bahasa. Dalam bahasa Jawa saja terdapat 13 tingkatan yang pemakaiannya tergantung pada siapa yang dihadapi berbicara, sedang kepulauan kami mempunyai tidak kurang dari 86 dialek semacam itu. “Sampai sekarang,” kataku, “bahasa Indonesia hanya dipakai oleh kaum ningrat. Tidak oleh rakyat biasa. Nah, mulai dari hari ini menit ini mari kita berbicara dalam bahasa Indonesia. “Hendaknya rakyat Marhaen dan orang bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. Hendaknya seseorang dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara‐saudaranya di pulau lain dalam bahasa yang sama. Kalau kita, yang beranak‐pinak seperti kelinci, akan menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita harus mempunyai satu bahasa persatuan. Bahasa dari Indonesia Baru.”Sebelurn ini, seorang Jawa dari golongan rendah tidak boleh sekali‐kali menanyakan kepada orang Jawa yang lebih tinggi derajatnya, ‘Apakah engkau memanggil saya?’ Dia tidak akan berani mengucapkan begitu saja perkataan “engkau” kepada orang yang lebih atas. Seharusnya ia memakai perkataan “kaki tuan” atau “kelom tuan”. Dia harus mengucapkan, “Apakah kelom tuan memanggil saya? “Tingkatan perhambaan semacam inipun dinyatakan dengan gerak. Aku menunjuk dengan jari telunjukku, akan tetapi orang jang lebih rendah tingkatnya dihadapanku akan menunjuk dengan ibu jari. Keramahan yang demikian itu memberikan kepada si penjajah suatu senjata rahasia yang membantu melahirkan suatu bangsa “cacing” dan “katak” seperti mereka menamakannya. Kamipun disebut sebagai “rakyat yang paling pemalu di dunia. “Bertahun‐tahun kemudian aku tergila‐gila pada seorang Puteri yang muda dan cantik dari salah satu kraton di Jawa, akan tetapi penasehatpenasehatku menyatakan, bahwa aku sebagai orang yang telah bergabung dengan rakyat jelata tidak mungkin mengawininya. Sekalipun hatiku luka, mereka menunjukkan bagaimana aku telah memimpin pemberontakan melawan feodalisme, jadi tidak bisa sekarang memasuki golongan itu. Dan berahirlah hubungan ini dengan suatu kisah percintaan secara platonis. Di kalangan kaum bangsawan di Jawa seorang isteri tidak pernah kehilangan derajatnya yang tinggi. Kalau ia mengawini seorang lelaki yang lebih rendah derajatnya, suaminya harus mengajukan permohonan untuk berbuat sesuatu. Bahkan untuk bercintaan dengan isterinya sendiri, si suami yang boleh jadi bergelar raden, terlebih dulu harus meminta izin dari isterinya. Mungkin maksudnya baik. Akan tetapi, aku tidak dapat melihat Sukarno dalam
kedudukan yang demikian. Di jaman Feodal kami tidak mempunyai bentuk panggilan yang luas seperti Mister, Mistres, Miss atau yang dapat mencakup seluruh lapisan dan tingkat seseorang. Ketika aku memaklumkan Bahasa Indonesia, kami memerlukan suatu rangkaian sebutan yang lengkap yang dapat dipakai secara tidak berubah‐ubah antara tua dan muda, kaya dan miskin, Presiden dan rakyat tani. Di saat itulah kami mengembangkan sebutan Pak atau Bapak, Bu atau Ibu dan Bung yang berarti saudara. Di jaman Revolusi Kebudayaan inilah aku mulai dikenal sebagai Bung Karno. Tahun 1926 adalah tahun dimana aku
memperoleh kematangan dalam tiga segi. Segi yang kedua adalah dalam kepercayaan. Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata‐mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu melalui permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku maka kemerdekaan bagi seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama. Ketika konsep keagamaanku meluas, ideologi dari Pak Tjokro dalam pandanganku semakin sempit dan semakin sempit juga. Pandangannya tentang kemerdekaan untuk tanah air kami semata‐mata ditinjau melalui lensa mikroskop dari agama Islam. Aku tidak lagi menoleh kepadanya untuk belajar. Juga kawan‐kawannya tidak lagi menjadi guruku. Sekalipun aku masih seorang pemuda, aku tidak lagi menjadi penerima. Aku sekarang sudah menjadi pemimpin. Aku mempunyai pengikut. Aku mempunyai reputasi. Aku sudah menjadi tokoh politik yang sederajat dengan Pak Tjokro. Dalam hal ini tidak terjadi pemutusan tiba‐tiba. Ini terjadi lebih mirip dengan pemisahan diri secara pelahan sedikit demi sedikit. Sekalipun antara Pak Tjokro dan aku terdapat perbedaan yang besar di bidang politik, akan tetapi antara kami tetap terjalin hubungan yang erat. Orang Asia tidak menemui kesukaran untuk membedakan ideologi dengan peri‐kemanusiaan. Ketika seorang nasionalis bernama Hadji Misbach menyerang Pak Tjokro secara serampangan dalam suatu kongres, kuminta supaya dia
minta ma’af kepada kawan lamaku itu. Hadji Misbach kemudian menyatakan penyesalannya. Menentang seseorang dalam bidang politik tidaklah berarti bahwa kita tidak mencintainya secara pribadi. Bagi kami, yang satu tidak ada hubungannya dengan yang lain. Hal ini tidak dapat diselami oleh pikiran orang Barat, tapi ini senada dengan mentalita orang Timur. Misalnya saja, kusebut Pak Alimin dan Pak Muso. Keduaduanya sering bertindak sebagai guruku dalam politik ketika aku tinggal di rumah Pak Tjokro. Kemudian mereka berpindah kepada Komunisme, pergi ke Moskow dan belakangan di tahun 1948, setelah aku menjadi Presiden, mengadakan pemberontakan Komunis dan usaha perebutan kekuasaan. Mereka merencanakan kejatuhanku. Akan tetapi orang Jawa mempunyai suatu peribahasa, “Gurumu harus dihormati, bahkan lebih daripada orangtuamu sendiri.” Ketika Pak Alimin sudah terlalu amat tua dan sakit, aku mengunjunginya. Lalu surat‐surat kabar mengoceh, “Hee, lihat Sukarno mengunjungi seorang Komunis! “Ya, Pak Alimin telah mencoba menjatuhkanku. Akan tetapi dia adalah salah‐seorang guruku di hari mudaku. Aku berterima kasih kepadanya atas segala yang baik yang telah diberikannya kepadaku. Aku berhutang budi kepadanya. Yang sama beratnya untuk dilupakan ialah kenyataan, bahwa dia adalah salah seorang perintis kemerdekaan. Seseorang yang berjuang untuk pembebasan tanah airnya —tak pandang bagaimana perasaannya terhadapku kemudian — berhak mendapat penghargaan dari rakyatnya dan dari Presidennya. Sama juga halnya dengan Pak Tjokro. Sampai di hari aku akan menutup mata untuk selama‐lamanya, aku akan tetap menulis namanya dengan hati yang lembut. Dalam bidang politik Bung Karno adalah seorang Nasionalis. Dalam kepercayaan Bung Karno seorang yang beragama. Akan tetapi Bung Karno mempunyai kepercayaan yang bersegi tiga. Dalam bidang ideologi, ia sekarang menjadi sosialis. Kuulangi bahwa aku menjadi sosialis. Bukan Komunis. Aku tidak menjadi Komunis. Masih saja ada orang yang berpikir bahwa Sosialisme sama dengan Komunisme. Mendengar perkataan sosialis mereka tidak dapat tidur. Mereka melompat dan memekik, “Haaa, saya sudah tahu! Bahwa Bung Karno seorang Komunis!” Tidak, aku bukan Komunis. Aku seorang SosiaIis. Aku seorang Kiri. Orang Kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis, imperialis yang ada sekarang. Kehendak untuk menyebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat bercekcok dengan orang Komunis. Kiriphobi, penyakit takut akan cita‐cita kiri, adalah penyakit yang kutentang habis‐habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilisme. Bagaimana suatu negeri yang miskin menyedihkan seperti negeri kami dapat menganut suatu aliran lain kecuali haluan sosialis? Mendengar aku berbicara tentang demokrasi, seorang pemuda menanyakan apakah aku seorang demokrat. Aku berkata, “Ya, aku pasti sekali seorang demokrat.” Kemudian dia berkata, “Akan tetapi menurut pandangan saya tuan seorang sosialis.” Saya sosialis, jawabku. Ia menyimpulkan semua itu dengan, “Kalau begitu tentu tuan seorang sosialis demokrat.” Mungkin ini salah satu jalan untuk menamaiku. Orang Indonesia berbeda dengan bangsa lain di dunia. Sosialisme kami adalah sosialisrne yang dikurangi dengan pengertian rnaterialistisnya yang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang terutama takut dan cinta kepada Tuhan. Sosialisme kami adalah suatu campuran. Kami menarik persamaan politik dari Declaration of Independence dari Amerika. Kami menarik persamaan spiritual dari Islam dan Kristen. Kami menarik persamaan ilmiah dari Marx. Ke dalam campuran yang tiga ini kami tambahkan kepribadian nasional: Marhaenisme. Kemudian kami memercikkan ke dalamnya Gotong‐royong yang menjadi jiwa, inti daripada bekerja bersama, hidup bersama dan saling bantu‐membantu. Kalau ini dicampurkan semua, maka hasilnya adalah Sosialisme Indonesia. Konsepsi‐konsepsi ini, yang dimulai semenjak tahun duapuluhan dan tak pernah aku menyimpang daripadanya, tidak termasuk begitu saja dalam penggolongan sesuai dengan jalan pikiran orang Barat, tetapi memang orang harus mengingat, bahwa aku tidak mempunyai jalan pikiran Barat. Merubah rakyat sehingga mereka tergolong dengan baik dan teratur ke dalam kotak Barat tidak mungkin dilakukan. Para pemimpin yang telah mencoba, gagal dalam usahanya. Aku selalu berpikir dengan cara mentalita Indonesia. Semenjak dari sekolah menengah aku telah menjadi pelopor. Dalam hal politik aku tidak berpegang kepada salah satu contoh. Mungkin inilah yang menyebabkan, mengapa aku jadi sasaran dari demikian banyak salah pengertian. Aliran politikku tidak sama dengan aliran orang lain. Tapi disamping itu latar belakangku pun tidak bersamaan dengan siapapun juga. Nenekku memberiku kebudajaan Jawa dan Mistik. Dari bapak datang Theosofisme dan Islamisme. Dari ibu Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Dari Pak Tjokro datang Sosialisme. Dari kawan‐kawannya datang Nasionalisme.Aku menambah renungan‐renungan dari Karl Marxisme dan Thomas Jeffersonisme. Aku belajar ekonomi dari Sun Yat Sen. Aku belajar kebaikan dari Gandhi. Aku sanggup mensynthese pendidikan secara ilmu modern dengan kebudayaan animistik purbakala dan mengambil ibarat dari hasilnya menjadi pesan‐pesan pengharapan yang hidup dan dapat dihirup sesuai dengan pengertian dari rakyat kampung. Hasil yang keluar dari semua ini dinamakan orang —dalam istilah biasa— Sukarnoisme. Aku tumbuh dari Sarekat Islam, akan tetapi belum menukarnya dengan partai lain yang formil. Apa yang disebut organisasi politikku di tahun 1926 adalah pertumbuhan dari Bandung Studenten Club yang disponsori oleh universitas, agar para mahasiswa dapat bermain bridge atau bilyar. Ia didirikan untuk pesta‐pesta dan kegembiraan. Anak Bumiputera dibolehkan masuk club itu akan tetapi, setelah mengikutinya, aku menyadari bahwa kami tidak dapat menjadi anggota pengurus. “Saya tidak dapat menerima keadaan semacam itu,” kataku, “Saya akan keluar dari perkumpulan ini.” Seperti di Mojokerto, setiap orang main ikut‐ikutan dengan pemimpin. Pada waktu Sukarno keluar dari Bandung Studenten Club ini, anak Indonesia lainnya pun mengikutinya. Dengan lima orang anak Indonesia aku mendirikan Perkumpulan Studi. Aku memilih bahan bacaan yang bernilai seperti “Handelingen der Tweede Kamer van de Staten Generaal” (Kegiatan Tweede Kamer dari Staten Generaal Negeri Belanda) dari perpustakaan. Dan kami secara berganti‐ganti membacanya seminggu seorang. Pada setiap penutupan lima mingguan sekali kami mengadakan pertemuan —biasanya di rumahku — dan duduk sepanjang malam memperdebatkan pokokpokok dari strategi yang ada di dalamnya. Orang selalu dapat mengetahui, kapan Bung Karno mempelajari buku itu. Kalimat‐kalimat yang perlu, diberi bergaris dibawahnya. Paragraf‐paragraf diberi lingkaran. Siapa saja yang membacanya setelah itu dapat melihat dengan mudah aliran pikiranku. Kutuliskan kritik‐kritikku dipinggir pinggir halaman. Aku memberi tanda halaman‐halaman yang kusetujui
dan memberi catatan dibawah halaman‐halaman yang tidak kusetujui. Tadinya segar dan bersih dari rak perpustakaan, jilid‐jilid yang berharga itu kemudian tidak lagi bersih sesudah itu. Ke dalam Algemeene Studiclub ini hinggaplah intellektuil‐intellektuil muda bangsa Indonesia, banyak yang baru saja kembali dari Negeri Belanda dengan ijazah kesarjanaannya yang gilang‐gemilang ditangan mereka. Pertukaran buah‐pikiran dalam bidang politik yang aktif adalah kegiatan kami yang pokok. Cabang‐Cabang dari Studieclub ini tumboh di Solo, Surabaya dan kota lainnya di Jawa. Kami kemudian menerbitkan majalah perkumpulan — Suluh Indonesia Muda — dan, sebagaimana dapat diduga, Ketua Sukarno adalah penyumbang tulisan yang pertama. Karena aku begitu terikat dalam soalsoal politik sehingga kurang memikirkan soal‐soal lain, maka biro teknikku merosot sehingga ia mati sama sekali. Pikiranku terlalu sangat tertuju kepada segi yang dalam dari kehidupan ini daripada memikirkan yang tidak berarti, sehingga dimalam terang bulan yang penuh gairah aku bahkan lebih memikirkan isme daripada memikirkan Inggit. Pada waktu muda‐mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan “Das Kapital”. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi. Jadi aku mendekati achir daripada windu yang ketiga. Sewindu adalah suatu jangka waktu yang lamanya delapan tahun. Tahun 1901 sampai 1909 adalah windu dengan pemikiran kanak‐kanak. 1910 sampai 1918 adalah windu pengembangan. 1919 sampai 1927 windu untuk mematangkan diri. Aku sudah siap sekarang

Desember 27, 2009
Kategori: Uncategorized . Yang berkaitan: rBUNG KARNO: PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT . Penulis: SOEKARNO