Siapa Anti Revolusi Indonesia Akan Hancur

here

Jumat, 12 Februari 2010

Penilaian terhadap Pergerakan Perempuan Indonesia


Melalui penelusuran sejarah, semua orang di negeri ini sepakat bahwa pergerakan perempuan pertama diprakarsai oleh R.A Kartini yang menuntut adanya kebebasan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan sama seperti halnya laki-laki. Pada saat itu isu mengenai kesetaraan gender seperti yang banyak didengungkan sekarang belum terdengar. Meski bukan bertindak atas nama organisasi, dobrakan yang dilakukan Kartini itu mampu menginspirasi para perempuan untuk selanjutnya memikirkan tentang posisi dan kesejahteraan sosial perempuan.

Organisasi perempuan yang pertama didirikan pada tahun 1912, yakni bernama Putri Mardika. Organisasi ini memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan agar tampil di depan umum, dan membuang rasa “takut”, dan “mengangkat” perempuan pada kedudukan yang sama dengan laki-laki. Tokohnya yang menonjol adalah Abdorerachman—yang disebut sebagai feminis pertama di Indoensia.

Antara tahun 1913-1924, lebih banyak lagi bermunculan organisasi perempuan. Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun—PIKAT (Manado, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poetri Boedi Sedjati (Surabay, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), dan Wanita Katolik (1924).

Selepas tahun 1920, gerakan perempuan mulai berganti haluan menjadi politis dan ideologsis. Beberapa organisasi perempuan merupakan kepanjangan tangan dari partai tertentu. Contohnya adalah Sarekat Rakyat milik PKI. Kegiatan perempuan-perempuan berhaluan “kiri” itu dianggap radikal. Para aktivisnya ditangkap dan beberapa dibunuh.

Kegiatan politis perempuan tidak berhenti sampai di situ. Pengaruh Kongres Perempuan pada tahun 1928 memunculkan organisasi perempuan lainnya—yang paling menonjol saat itu adalah Isteri Sedar. Organisasi tersebut memperjuangkan agar perempuan Indonesia bisa berperan aktif dalam politik; meningkatkan kondisi kerja yang baik bagi buruh perempuan; dan mendukung pendidikan nasional bagi para perempuan pekerja.

Kongres Perempuan yang diselenggarakan pada tahun yang sama dengan Sumpah Pemuda. Namun, seiring peringatan terhadap sejarah hanya Sumpah Pemudalah yang terdengar gaungnya hingga sekarang. Kongres Perempuan tak bisa mendapatkan tempat di hati “rakyat” sehingga sejarah pergerakan perempuan pun tidak dketahui secara luas. Hanya kaum feminis yang hingga sekarang masih ada yang mungkin tahu tentang sejarah pergerakan perempuan Indonesia.

Pada masa kependudukan Jepang, semua organisasi perempuan dilarang dan hanya muncul Fujinkai (perkumpulan perempuan) yang disetujui oleh Jepang. Isteri Sedar inilah yang kemudian pada tahun ’60-an menjelma menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang erat kaitannya dengan Soekarno dan PKI. Gerwani adalah penentang poligami namun tidak melakukan apa-apa ketika Soekarno menikah lagi. Dan mulai saat itu popularitas Gerwani menurun. Perlahan-lahan Gerwani mulai mengesampingkan isu-isu perempuan dan justru menyikapi isu-isu kerakyatan, serta membentuk pandangan perempuan sebagai “ibu militant”. Gerwani dicap sebagai organisasi cacat moral. Organisasi perempuan itu akhirnya runtuh seraya dengan dibubarkannya PKI.

Pergerakan perempuan di Indonesia mungkin berbeda dengan perjuangan kaum feminis di Barat. Namun demikian, pemikiran-pemikiran Kartini dan pemrakarsa organisasi-organisasi perempuan juga tak bisa dikatakan terpengaruh pemikiran para feminis Barat.

Seiring berkembangnya pemikiran kaum feminis dunia, pergerakan perempuan memiliki citra lain di masyarakat kebanyakan, tak terkecuali di Indonesia. Jika dahulu pergerakan perempuan adalah hal mulia dan dihormati orang kebanyakan, maka tantangan kaum feminis sejak tahun ’80-an adalah munculnya cibiran bagi feminisme—bahkan dari kaum perempuan sendiri.

Banyak tudingan dialamatkan pada gerakan feminisme. Naomi Wolf dalam bukunya Gegar Gender, Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21 menuliskan, “Banyak perempuan tidak tahu arti feminisme; ada yang berpikir bahwa feminisme tidak menghormati pilihan-pilihan yang mereka ambil; lainnya lagi berpikir bahwa feminisme tidak ditujukan pada mereka; sisanya sekadar tidak menyukai citra feminisme yang mereka lihat.

Jajak pendapat Time/CNN Yankelovich di tahun 1989 menunjukkan 33 persen perempuan memanggil diri sendiri ‘feminis’ sedangkan 58 persen tidak. Sepanjang tahun 1980-an, jumlah perempuan yang menyebut dirinya ‘feminis’ semakin melorot. Pada akhirnya muncul kelompok feminis dan anti-feminis di kalangan perempuan sendiri.

Feminisme dianggap sebagai suatu paham dengan pakem-pakem tertentu, memiliki aturan tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan perempuan. Feminis dianggap bersifat anti-keluarga dan anti-lelaki. Penganut feminisme dikenal ‘sulit’ dan keras kepala untuk diajak berkompromi. Hal itulah yang membuat perempuan disingkirkan dari lembaga-lembaga pemerintahan. Kebanyakan perempuan mendukung cita-cita feminisme tapi menolak jati diri sebagai feminis.

Pergerakan perempuan di Indonesia sejak abad ke-20 hingga kini dinilai belum mencapai kemajuan. Menurut Yeni Rosa Damayanti, seorang aktivis perempuan, seperti yang dikutip pada jurnalperempuan online, isu-isu gerakan perempuan saat ini masih sama dengan persoalan-persoalan gerakan perempuan pada abad ke-20.

Dia juga menilai gerakan perempuan masa itu justru cukup progesif dalam menyuarakan keterwakilan perempuan dalam politik, anti poligami, dan perdagangan perempuan. Ini dapat berarti gerakan perempuan sekarang tidak belajar dari gerakan perempuan terdahulu. Namun, ini bukan berarti kesalahan dari gerakan perempuan saat ini semata karena dalam periode-periode tertentu telah terjadi pengaburan sejarah akan gerakan perempuan masa lalu, yang memutus mata rantai antara gerakan perempuan saat ini dan masa lalu.

Kritik yang muncul atas gerakan perempuan saat ini adalah telah terjadi dikotomi dalam gerakan perempuan, antara yang bergerak dalam ruang strategis dan ruang praktis. Akibatnya, gerakan perempuan bekerja sendiri-sendiri dan berada dalam ruang yang ekslusif. Padahal kedua kelompok ini sebenarnya bisa bersinergi untuk menjawab kebutuhan praktis perempuan sehingga gerakan perempuan bisa membangun militansi dan kepercayaan dari massa.
http://elisabetyas.wordpress.com

1 komentar:

  1. Mungkin cuplikan ini menarik: Karen Straughan, anti feminis yang menyatakan orasinya dengan tema ‘Murid-murid laki-laki dalam bahaya’ (Male Student in Peril)’ per 1 november 2014 pada Kennesaw State University bahwa dalam sepak terjangnya feminisme selalu menggambarkan bahwa patriarki adalah sistem yang buruk, mendukung tindak kekerasan terhadap perempuan dan harus disingkirkan. Diungkapkannya lagi bahwa didapati ada orang-orang yang mendukung feminisme dan menyatakan diri sebagai feminis dengan proporsi 25% populasi dunia, tetapi didapati populasi 90% mendukung ‘equality’, terdapat kondisi tumpang tindih dalam kasus ini dan bukan tidak mungkin banyak yang menyatakan diri anti feminis. Karen berpendapat bahwa feminisme tidak sepopuler kelihatannya, banyak yang sebenarnya menyatakan tidak dan diam tidak bergeming sewaktu dihadapkan dengan aksi-aksi feminis. Sumber buku: Awaken The Giant - Bangkitnya Revolusi Sosial Dunia. Sulianta, Feri. 2016.

    BalasHapus